Malam telah tiba, ku buka jendela kamar ku. Bulan yang indah terpampang jelas di depan wajah ku. aku nyaman melihatnya dari kejauhan. Malam ini aku harus jujur tentang perasaan ku kepada Andin. Benar perkataan Rama intinya semua harus jujur hasil belakangan. Aku benar-benar gugup mengatakannya. Ku mulai lah dengan memberi pesan.
Sang putri
“Din, aku boleh ngomong sesuatu?”
Sudah sepuluh menit dia belum membalas pesan ku. Memang kebiasaan sih dia suka seperti itu selalu lama membalas. Aku coba bersabar sembari menatap buku novel Andin.
“Iya rey?”
Andin membalas pesan ku. Aku coba memikirkan apa yang harus aku lakukan terlebih dahulu.
“Kamu sibuk?”
“Engga, kenapa?”
“Aku boleh cerita”
“Iya, boleh Rey”
“Kamu tau kan aku sering cerita perempuan yang aku suka itu”
Aku memang sering bercerita tentang perempuan yang ku suka selama satu tahun itu pada Andin lewat telponan. Niatnya aku memberikan dia kode agar dia paham kalau yang selama ini aku ceritakan itu adalah Andin perempuan yang ku suka. Tetapi dia tidak pernah merasa hal itu. Padahal aku sudah menjalaskan detail karakter perempuan yang ku suka ini. Tetap saja dia tidak merasa, aku tidak mengerti maksudnya dia.
“Iya, terus kenapa Rey?”
“Perempuan yang selama satu tahun aku suka dan ku pendam semuanya. perempuan lugu, dengan wajah manisnya. Yang selalu sabar menanggapi ku.”
“Hmm kalo boleh tau nama perempuan itu siapa?”
“Aku belum berani kasih tau kamu”
“Kenapa emangnya?”
“Aku belum siap”
Akhirnya karena aku tidak sabar ingin mendengar suaranya aku langsung menelpon dia agar lebih jelas tidak setengah-setengah.
“Hallo din,”
“Iya Rey,”
“Aku belum siap din, bilang namanya siapa”
“Yasudah, perempuan itu sekolah dimana? Bareng kita juga?”
“Iya bareng”
“Pernah satu kelas dengan kita?”
“Pernah”
“Kelas berapa?”
“Kelas tiga”
“Hah!”
“Kenapa din kamu terkejut gitu?”