"Seorang pria ditemukan tewas di Jalan Xyz. Diduga, peristiwa ini terjadi saat korban pulang bekerja. Tak ada saksi mata, dan peninggalan barang bukti di tempat kejadian. Dugaan sementara, korban menjadi orang ke-30 yang mati misterius di awal bulan Januari."
"Untuk pemeriksaan lebih lanjut, saat ini korban dilarikan ke rumah sakit untuk dilakukan tindakan autopsi. Kami dari metropolitan TV melaporkan."
"Aissh," wanita paruh baya menghela nafasnya.
"Kalau gini terus restoran bisa bangkrut," keluh wanita paruh baya saat menonton tayangan berita.
Sudah seminggu ini dunia digemparkan dengan kematian misterius. Para korban bertumbangan tanpa sebab. Aparat negara memastikan ini bukanlah kasus pembunuhan, karena tak ada satupun barang bukti, dan sidik jari pelaku di tubuh korban.
Meskipun diidentifikasi bukan korban pembunuhan, tapi luka di tubuh korban masih menjadi pertanyaan besar. Hal yang paling membuat polisi, dan detektif terheran-heran adalah saat memeriksa tubuh korban tak ada satupun riwayat penyakit bawaan, ataupun indikasi serangan jantung.
"Jangan gitu toh, bu ... Percaya sama yang di atas, rezeki ada aja. Yang penting keselamatan nomor satu," sahut gadis bertopi ungu.
Wanita paruh baya menoleh ke samping. Sudut bibirnya terangkat mendengar jawaban bijak gadis itu.
"Hahaha, kamu bisa aja deh Dini," wanita paruh baya tertawa kecil. Ia merapikan badge name miliknya yang sedikit miring. Lina Andriana, CEO Mulia Restoran.
Bu Lina meletakan remotnya di atas meja, dan memutuskan bangun dari kursi. Kakinya melangkah cepat ke arah Andini.
Tap
Bu Lina berhenti tepat di samping gadis itu. Ia memandangi gadis itu lamat-lamat. Senyum indahnya terlukis di sudut bibir.
"Kamu kalau pakai seragam yang rapi Dini," tegur Bu Lina.
"Oh iya bu," Andini yang tadinya mengelap meja buru-buru melepaskan lap itu, dan meletakannya di atas meja. Dengan cepat Andini menepuk-nepuk bajunya.
"Bukan itu. Sini … ." Bu Lina menarik tubuh Andini mendekat.
Andini terkejut saat Bu Lina merapikan rambutnya yang keluar di sela-sela topi. Andini terenyuh, ia tak percaya seorang bos mau melakukan ini.
"Nah, kalau gini, kan rapi," puji Bu Lina selesai merapikan topi Andini.
"Oh iya, lupa! Tadi ibu beli sesuatu buat Dini, sebentar ya ... ."
Andini mengangguk, ekor matanya mengikuti gerakan Bu Lina.
"Mana ya? Kok ga ada," gumam Bu Lina membuka laci satu persatu. Setelah tidak ada di laci pertama, Bu Lina beralih ke laci kedua.
"Nah ini dia," ujar Bu Lina saat menemukan yang ia cari. Bu Lina meraih bingkisan kecil yang dibungkus dengan plastik berwarna pink. Bu Lina tersenyum menatap bingkisan itu. Dengan perasaan senang, Bu Lina kembali menghampiri Andini.
"Ini," Bu Lina menyodorkan bingkisan itu di hadapan Andini.
"Untuk Dini?" tanya Andini ragu.
Bu Lina mengangguk tersenyum, "Iya."
Awalnya Andini bingung harus bereaksi apa, tapi sedetik kemudian Andini tersenyum.
Andini mengulurkan tangannya menerima hadiah itu, "Terima kasih, Bu," ucap Andini tersenyum.
Bu Lina mengangguk sebagai jawaban ya.
"Buka dong," ucap Bu Lina lembut.
"Sekarang?" tanya Andini.
Bu Lina mengangguk tersenyum, "Iya."
Dengan rasa penasaran Andini meletakan bingkisan itu di atas meja, dan mulai membuka plastik pink yang melapisi bingkisan itu.
Andini tersentuh saat melihat apa di depannya. Sebuah toples mika yang berisi kue kering bertaburan gula halus. Ini adalah hadiah pertama dari bosnya.
"Waah," ucap Andini terkagum-kagum.
"Kamu tau kenapa ibu kasih kue ini?" tanya Bu Lina.
"Emm," Andini berpikir sebentar, kemudian menggeleng.