Neko Ai, gadis kecil berusia lima tahun itu sudah mencuri banyak perhatian. Bukan hanya dari kalangan para murid PAUD Mawar, tetapi juga para orang tua murid. Mata minimalis, rambut kecokelatan, serta kulit seputih susu mampu menghipnotis setiap pasang mata yang menatapnya. Gadis keturunan Jepang itu belum genap seminggu bersekolah. Namun, popularitasnya begitu melejit. Darah Jepang ayahnya begitu kentara dibanding darah Jawa yang berasal dari sang ibu.
"Neko Ai, panggil saja Ai," katanya dengan suara yang amat lucu.
Seisi ruangan memberi tepuk tangan, menatap seorang Ai dengan kagum dan berbinar.
"Neko Ai," ulang bu guru. "Pasti ada artinya, kan?"
Dengan gemas Ai mengagguk.
"Neko, berarti kucing, Bu."
"Kalau Ai, artinya cinta atau kasih sayang," lanjut Ai dengan bangga. Selain menawan gadis kecil itu juga amat pintar dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Ayah-ibunya mendidik Ai dengan sangat baik.
****
Brak!
Setumpuk kertas diletakan begitu saja di meja kerja Ai. Gadis 23 tahun itu menahan napas sejenak.
"Tolong dikoreksi!" perintah Aji--salah satu rekan kerja Ai. Bedanya satusnya seorang karyawan tetap. Seorang Neko Ai? Jelas saja, ia masih magang. Jadi, hal-hal seperti ini sudah biasa ia kerjakan. Lebih tepatnya, mengerjakan pekerjaan orang lain. Itulah definisi magang di perusahaan ini.
Mau resign pun rasanya sangat disayangkan. Sebab Ai paham betul bagaimana susahnya mencari kerja. Beli amplop cokelat saja tidak cukup kalau cuma lima. Dapat kerja di salah satu perusahaan percetakan saja rasanya sudah sangat ia syukuri. Jadi ia tidak akan berhenti, meski pekerjaannya bisa dibilang sebagai pesuruh. Yang jelas, untuk saat ini ia harus tahan selama 3 bulan. Sampai masa pemagangannya selesai, syukur-syukur diterima sebagai karyawan setelahnya.
Pukul 10.30
Ai tersenyum tipis walau sejenak, saatnya istirahat. Gadis itu bangun dari duduknya, hendak berjalan menuju kantin. Baru saja ia berjalan beberapa langkah. Suara seseorang memanggilnya dari kejauhan.
Ai menelan ludah.
"Kucing, gue nitip kopi ya!"