"Dua ratus empat puluh... Dua ratus lima puluh... Dua ratus enam puluh lima ribu, Pak." Kinanti berpaling menatap Bapak yang terus memandang ke depan. Senja yang sebentar lagi membenam.
"Dua ratus enam lima, ya? Sepertinya masih kurang, Nan," pungkas Bapak dengan khawatir.
Ia menoleh menatap anak satu - satunya yang kian tumbuh besar. Rambut panjang legamnya terlihat lebih cantik karena terpantul sinar matahari sore yang kian merangkak turun. Kinanti-nya bukan lagi anak kecil nakal yang kalau sore menjelang tidak akan pulang sebelum dipanggil mendiang istrinya, Lina. Ah, betapa waktu cepat sekali meroda.
Dulu, dulu sekali. Bram selalu berdoa agar diberi keturunan lelaki. Mimpinya sederhana. Ia hanya ingin penerus yang tangguh meski ombak senantiasa menghadang. Selepas Lina diberitahukan mengandung setelah penantian yang cukup panjang. Tak pelak suka cita segera Bram rayakan. Tak henti bibirnya tersenyum lebar selama beberapa hari. Bahkan sampai membuat warga sekitar terheran - heran atas sikap tak biasa Bram. Tak apalah, demi anak lelakiku.
"Cukup ini, Pak. Cukup!" Kinanti berseru dengan semangat sampai membuyarkan lamunan Bram. Ia mendesah lantas memegang kedua pundak putrinya.