"Nggak mau nyuruh mampir atau gimana gitu?" tanya Rizal sesaat setelah mobilnya berhenti di depan pagar rumah Lisa.
Rumah wanita itu cukup terang. Ada banyak lampu yang menjadi sumber pencahayaan. Lampu-lampu yang cukup untuk membuat seseorang yang takut gelap menjadi terbiasa ketika meninggalkan rumah.
"Udah malem, nggak baik cowok mampir rumah cewek malam-malam," kata Lisa sambil bergerak membuka pintu, tapi tangan Rizal lebih dulu menahannya.
Lisa menoleh. Rizal ternyata telah melepaskan seat belt yang melingkari tubuhnya agar bisa menatap Lisa secara sempurna. "Jangan keluar dulu, di sini aja sama aku," ujarnya disertai senyuman manis yang malah membuat Lisa bergidik ngeri.
Ia tidak suka senyuman Rizal. Apa Lisa pernah memberitahukannya sebelumnya?
Senyum laki-laki itu jika diamati sekilas memang manis, tapi untuk Lisa, senyuman itu memiliki makna berbeda. Karena, Rizal bukan orang biasa. Dia manusia berkepribadian ganda.
Kalau saat itu dia sedang tersenyum manis layaknya manusia tak berdosa, dia mungkin tidak terlalu berbahaya, tapi di saat dia mengeluarkan sisi lain dirinya. Lisa takkan bisa berbuat apa-apa selain berdoa akan keselamatannya.
"Daddy udah nungguin di teras," katanya sebagai peralih perhatian agar ia bisa terbebas dengan laki-laki itu segera.
Jantungnya bergemuruh. Ada sekelumit rasa takut menyergap dadanya saat melihat kilat di mata hitam Rizal yang kini membalas pandangan matanya.
Rizal menghela napas panjang. "Iya sudah kalau begitu," dia memamerkan senyum itu lagi, "perlu kuantar masuk sampai ke dalam rumah?"
"Nggak perlu. Gue bisa jalan sendiri."
"Yakin? Kamu nggak takut emangnya?"
Lisa mendengkus. "Takut apa sih?"
"Aku tahu lho, kamu takut gelap, kan?"
"Sok tahu." Lisa melepas pegangan tangan Rizal di tangannya. Dia baru akan pergi saat Rizal kembali menahan tangannya dan membuat Lisa kesal setengah mati. "Apalagi sih?"
"Ciuman selamat malamnya belum." Rizal mengecup kening Lisa singkat. "Salamin buat Mom sama Daddy kamu di dalam."
Lisa terperangah beberapa saat, sebelum menghapus bekas di mana Rizal memberikan ciuman di jidatnya dengan kasar. "Nggak usah sok akrab!"
Lisa keluar dari mobil Rizal dengan segera. Setelah di luar, ia mengirup napas sebanyak-banyaknya.
Berada semobil dengan Rizal membuat jantungnya penyakitan. Dentumannya nyaris membuat Lisa mati di tempat. Untungnya, kali ini Rizal tidak berbuat macam-macam, apalagi sampai mengancamnya seperti tadi. Kalau Rizal melakukannya, Lisa yakin dirinya sudah pingsan.
Lisa berjalan meninggalkan mobil Rizal dan langsung memasuki pekarangan rumah. Ayahnya telah menunggu di teras dengan segelas cangkir kopi yang masih mengepulkan asap.
"Kok Rizal-nya nggak diajakin mampir?" tanya ayahnya, menyambut Lisa yang kini berhenti sejenak dari langkah kakinya.
"Udah malam. Nggak baik kalau dia main malam-malam gini."
"Daddy sih nggak masalah dia mau main jam berapa saja—"
"Itu namanya nggak punya sopan santun dan moral, Dad."
"Kamu bukan anak kecil lagi, Lisa. Kalian juga sebentar lagi bertunangan, apa salahnya coba? Daddy yakin Rizal nggak akan berani macam-macam sama cewek segalak kamu."
Lisa mendelik. Ayahnya hanya tidak tahu saja, kalau Rizal punya dua kepribadian yang sangat bertolak belakang.
"Nih, ya, Daddy. Lisa kasih tahu. Cowok bertamu ke rumah cewek malam-malam itu nggak baik. Walaupun Lisa ini pacarnya kek, calon tunangannya kek, kalau udah main malam-malam ke rumah cewek, itu artinya ceweknya nggak bener. Dan Lisa, bukan cewek nggak bener!"
"Oh, jadi sekarang kalian udah pacaran?"