Kamu Seperti Waktu

Muyassarotul Hafidzoh
Chapter #1

#1 Lembar Penantian

Bolehkah aku bercerita padamu? Aku tidak biasa bercerita kepada orang lain tentang hidupku. Bukannya aku tidak mau, tapi hanya sedikit orang yang memahami bahasaku.

Jadi, bacalah kisahku dan mungkin kamu bisa membantu mengobati lukaku.

 

Kamu Seperti Waktu

Novel Muyassarotul Hafidzoh

SATU

Lembaran Penantian

PERCERAIAN, Sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa aku akan mengalaminya. Kukira aku adalah orang yang sangat membenci perkara itu, bahkan sampai saat ini aku membenci ibuku yang pernah menggugat cerai bapak. Heh, apa ini karma atas rasa benci itu?

Aku berusaha sebaik mungkin menjalankan peranku, tetapi aku lupa, bahwa aku tidak mampu menyiapkan diri untuk menghadapi takdir yang kejam dan aneh seperti yang aku alami saat ini. Lalu, entah di masa depan nanti, apakah aku akan bisa menghadapinya?

“Hanim Wafiqa.” Petugas itu memanggil namaku, tapi aku tidak tahu namaku dipanggil. Zuhair menepuk tanganku. Dia memberitahuku bahwa petugas sudah memanggil namaku. aku berjalan pelan mendekatinya. Petugas itu menyerahkan lembaran yang sudah lama aku nantikan, lembaran yang akan membawa aku pergi dari rumah bapakku, namun aku tidak tahu aku harus pergi kemana, aku sendiri tidak tahu jawabannya.

Rumit, aku cukup kesulitan menggambarkan kisahku. Bagaimana tidak, setiap langkah tidak ada dalam anganku. Sempat berpikir, kenapa banyak pakar yang mengatakan kita harus menyiapkan planning atau rencana yang bagus untuk menjalankan kehidupan yang baik. Tetapi aku, semua hidupku tidak sesuai rencanaku, semuanya penuh luka. Hingga aku lupa, bagaimana cara tersenyum, bagaimana cara bahagia. Aku hanya tetap berjalan pada jalan yang tidak pernah kurencanakan.

Aku membaca lembaran yang ada di tanganku. Aku menggerakkan bibirku, sepertinya aku ingat cara tersenyum. Namun tak lama, air mataku meluncur tanpa permisi membasahi pipi kananku, sedangkan tetesan lain masih menunggu di ujung mata kiriku.

“Alhamdulillah,” kalimat syukur itu yang terucap jelas dari hatiku.

Aku melihat petugas yang memberikan lembaran ini dan menganggukkan kepala dengan menaruh jemari ke daguku. Aku sedang mengatakan “Terima kasih pak,” dalam bahasaku, bahasa isyarat.

Petugas itu menganggukkan kepalanya sedikit dan tak lama menggelengkan kepalanya sambil menyampaikan sebuah kalimat kepada rekannya yang duduk di sebelahnya. Aku yang disabilitas tuli tentu tidak mendengar apa yang disampaikan petugas tersebut. Tapi aku merasa mereka membicarakanku.

Aku abaikan mereka dan segera beranjak pergi. Dengan langkah yang agak cepat, aku berjalan menuju toilet sebelum kembali menemui Zuhair. Aku mengusap wajahku, dan mengatur nafasku. Aku tidak mau Zuhair khawatir. 

Setelah aku lebih siap, aku kembali berjalan menuju tempat Zuhair duduk.

“Akta cerainya udah jadi mba?” katanya dengan bahasa Isyarat. Aku mengangguk.

Kulihat wajahnya mulai sendu.

“Zuhair kenapa?” tanyaku.

“Berarti kita harus keluar dari rumah? Kita akan tinggal di mana?” katanya dengan menahan kesedihan, terlihat dari gerakan tangannya yang pelan. Aku tersadar rasa senyum yang sebentar mampir tadi hampir melupakan apa yang akan terjadi pada kami.

“Masih ada waktu sampai masa iddahku selesai, kita masih bisa tinggal di rumah bapak,” kataku mencoba menenangkan Zuhair.

Mertuaku, ehm mantan ibu mertuaku sebenarnya tidak terima saat aku ingin menceraikan anaknya. Dia pun menggunakan kelemahanku, bahwa kami tidak bisa lagi tinggal di rumah itu, rumah bapak, satu – satunya harta kami. Mereka setuju dengan gugatan cerai ku tapi aku dan adikku harus keluar dari rumah itu.

Kembali aku mengingat ibuku, untuk kesekian kalinya aku kembali membencinya. Mengapa karma dari perbuatan ibu dan mbakku semua ditimpakan kepada ku dan adikku. Zuhair yang masih remaja itu sudah mencemaskan hidupnya.

Sebagai kakak, aku tidak ingin terlihat lemah, aku harus tampak kuat dan merasa baik-baik saja, aku harus memastikan Zuhair tetap tenang. Biar aku saja yang merasakan, baik itu kecemasan maupun ketakutan.

“Kita ke makam bapak dulu, lalu kita pulang. Zuhair jangan khawatir, kalau kita harus keluar dari rumah, kita akan tinggal bersama Tante Gina.” Zuhair mengangguk.

Zuhair sudah sangat mahir bahasa isyarat, sejak kecil kami sudah berkomunikasi dengan bahasa isyarat, jadi sama sekali tidak ada penghalang di antara kami dalam berkomunikasi.

***

Motor peninggalan bapak kulajukan dengan kecepatan sedang, aku membawa Zuhair ziarah ke makam bapak. Sesampai di sana, aku tidak mampu lagi menahan perasaan. Saat aku melihat makam bapak dan makam anakku yang dikubur berdampingan. Aku pun menangis. Telinga ini tak mampu mendengarkan suara tangisanku sendiri, tapi aku yakin saat ini aku mengeluarkan suara yang kencang.

Tak kusangka, tangan Zuhair menepuk punggungku dengan pelan, berkali-kali dia tepuk. Aku segera menyadari dan ingin menahan tangisku, tapi sungguh kali ini aku tidak bisa menahannya.

“Zuhair, mbak gak apa – apa, mba hanya bahagia bisa ziarah ke makam bapak, mba…. Ehm… tangisan ini, tangisan bahagia,” Aku menggerakkan tangan dan mengekspresikan wajah senyum yang sangat terpaksa. Aku tidak mau Zuhair tertekan melihat mbanya sangat bersedih.

“Zuhair, ehmm, kamu jangan cemaskan apa-apa, Mbak hanya,” belum selesai aku mengungkapkan kalimat manipulatif, Zuhair memegang tanganku, menghentikan kalimatku.

“Menangislah mba, jangan banyak bicara. Gak enak nangis sambil bicara. Mba gak perlu menahannya terus, manusia menangis itu gak papa mba,” tangan dan ekspresi wajah Zuhair sungguh tidak terduga, anak remaja itu mencoba menenangkan mbanya. Aku semakin tidak bisa menahan kesedihan dan kembali menangis sambil memukul dada ini. Mengapa tangisanku kali ini sungguh terasa sesak.

Aku peluk nisan bapak, lalu aku belai nisan anakku. Aku selalu merasa bersalah dengan apa yang menimpanya. Andai aku tidak banyak bekerja, andai aku tidak menahan emosi, andai aku tidak membaca pesan di hp ayahnya, andai aku lebih hati-hati lagi, dan ribuan andai selalu berputar dalam kepalaku.

Saat aku sudah mulai tenang, Zuhair mendekati makam bapak. Dia mengatakan sesuatu kepada bapak menggunakan bahasa isyarat. Aku melihatnya tanpa beralih sedikitpun.

“Jangan khawatir pak, mulai sekarang Zuhair yang akan melindungi Mbak Hanim.” Dia menghentikan tangannya dan menatapku.

“Aku bisa diandalkan kok mb.”

Zuhair lalu melihat makam anakku, makan keponakannya, dia juga mengatakan sesuatu pada anakku dengan bahasa isyarat.

“Tenang aja dek, pamanmu ini akan menjaga ibumu dengan baik. Kelak jika kita sudah bersama di surga, pamanmu ini akan mengajarimu main sepeda dan main bola.”

Aku kembali mengisakkan tangis dan segera memeluk Zuhair, adikku satu-satunya yang masih berusia 15 tahun itu. Zuhair menepuk tanganku, menandakan dia ingin menyampaikan sesuatu. Aku melepas pelukan dan kembali melihatnya.

“Aku yakin, Dek Zi sudah bisa bahasa isyarat,” katanya. Aku tersenyum dan kembali memeluknya.

“Ayo pulang.”

Lihat selengkapnya