Kamu Seperti Waktu
Novel Muyassarotul Hafidzoh
DUA
Masa Lalu itu Menakutkan
ISYARATNYA, begitu jelas. “Jangan pergi, Hanim. Sungguh, aku mencintaimu. Maafkan aku.”
“Hentikan Rif! Jangan coba mengelabui Hanim.”
Tiba-tiba Mba Gina berdiri di depan kami, mba Gina berbicara sekaligus menggerakkan tangannya. Dia berbicara dengan Mas Arif sekaligus menggunakan bahasa isyarat sehingga aku tahu apa yang dia katakan.
Bagi orang yang memahami kami, saat mereka berbicara menggunakan bahasa lisan dengan orang lain di depan kami, mereka juga tetap menggerakkan tangan dan menunjukkan ekspresinya dengan bahasa isyarat. Karena jika tidak, maka seolah tidak adil bagi kami saat ada orang berbicara di depan kami, apalagi membicarakan tentang kami, tapi kami tidak tahu apa-apa, kami tidak mendengar pembicaraan tersebut.
“Aku tidak mengelabuhinya mba.” Gerakan bibir Mas Arif terlalu cepat, hanya kalimat ini yang aku pahami, selebihnya aku tidak paham apa yang dia katakan.
Aku hanya tahu apa yang dikatakan Mba Gina.
“Kami tidak akan termakan kalimatmu yang manipulatif itu. Sudah cukup apa yang kamu lakukan kepada Hanim.”
Aku melihat Mas Arif, tapi tetap aku tidak tahu apa yang dia katakan.
“Salah paham bagaimana? Semua jelas, semua terbukti.” Mba Gina menggerakkan tangannya dengan penuh emosi.
“Kamu bilang kamu mencintainya sekarang? Terlambat!” Sekali lagi, aku melihat sorot mata Mba Gina yang penuh kemarahan.
Mba Gina menatapku dan menarik tanganku. Aku mengikuti langkahnya sambil tetap menoleh ke arah Mas Arif. Jujur, aku memang terluka dan lelah dengan semua ini, tapi entah sejak kapan aku mulai mencintainya. Saat ini pun masih begitu.
Mungkin karena setahun terakhir sebelum aku menggugat cerai, Mas Arif sudah mulai peduli kepadaku juga perhatian. Aku baru menyadari setelahnya bahwa semua itu adalah manipulatif, tapi perasaan sayang sudah terlanjur muncul dalam hatiku. Itu yang membuat perceraian ini sangat berat. Terlebih saat aku keguguran, dia sangat terlihat panik, entah wajah sedih itu wajah sesungguhnya atau juga hanya pura-pura, aku juga tidak tahu. Semua tertutupi dengan perasaan cintaku kepadanya.
Pernikahan kami memang bukanlah karena saling mencintai. Pernikahan kami karena ingin saling menyelamatkan hal yang paling penting untuk kami. Mas Arif yang harus mengikuti perintah orang tuanya untuk menikah karena kakeknya sakit. Kakeknya sangat ingin melihat cucunya menikah sebelum dia meninggal. Begitu alasan yang aku dengar, namun sepertinya masih ada alasan lain, tapi aku tidak tahu.
Kemudian aku juga terpaksa menikah karena hutang orang tua kami yang bisa membuat kami kehilangan rumah ini. Mas Arif tiba - tiba muncul menawarkan kesepakatan kepada keluarga kami. Jika aku mau menikahinya maka rumah ini akan dibeli dan kami masih bisa menempatinya.
Itu yang aku tahu dan aku terima saat aku menyepakati pernikahan ini. Aku menganggapnya sebagai saling menyelamatkan. Dua minggu sebelum akad nikah, Mas Arif menyampaikan beberapa hal terkait hubungan kami setelah menikah. Aku mulai merasa aneh.
Tapi rasa aneh itu kemudian menjadi keberuntungan untukku, karena bagaimanapun aku tidak mencintainya. Kami menyepakati beberapa hal yang kami tulis di atas kertas dan kami menandatangani bersama kesepakatan itu.
Isi dari kesepakatan itu antara lain, aku tetap boleh tinggal di rumahku mengajak bapak dan adikku. Aku tidak boleh mencampuri urusan mas Arif dan tidak ada aturan kapan Mas Arif harus pulang ke rumah. Tak boleh ada pertanyaan dan larangan untuk semua yang dilakukan Mas Arif. Jika sampai kakeknya meninggal dan kami masih tidak memiliki perasaan maka kami bisa menghentikan atau melanjutkan pernikahan sesuai kesepakatan kami.
Aku hanya akan setuju jika permintaanku juga disepakati. Aku juga memiliki keinginan yakni kontak fisik hanya boleh dilakukan jika saling setuju, tidak boleh ada paksaan. Tidak ada larangan ketika aku ingin bekerja atau melanjutkan kuliah. Selalu menjaga komunikasi dengan baik dan terakhir tidak boleh ada perselingkuhan.
Kami menyepakati permintaan masing-masing. Entah ini kami menyebutnya kontrak, tapi pernikahan kami bukan kawin kontrak. Aku sepenuhnya rela walau dalam hati seandainya bisa memilih yang lain aku tidak menikah di usiaku ini. Tapi sekali lagi, aku tidak punya kuasa untuk menolak apa yang menimpaku. Apalagi saat itu kondisi bapak dan Zuhair yang masih butuh tempat tinggal.
Jangan tanya tentang ibu dan Mba Anindya kakak perempuanku, aku tidak ingin membahasnya. Mereka pergi setelah aku menikah. Bahkan ibu menggugat cerai bapak, tepat sehari setelah aku menikah. Menurut usia yang seharusnya menikah adalah Mba Anin dulu, dan harusnya dia yang melakukannya, karena keadaan ekonomi kami yang memburuk itu ulah dari Mba Anin. Tetapi itu tidak terjadi. Ibu selalu berada dipihaknya, ibu sama sekali tidak pernah memihakku. Aku selalu merasa ibu malu memiliki anak sepertiku.
Kukira ketika aku mau menikah, maka mereka akan fokus menjaga bapak. Tapi, sebaliknya mereka meninggalkan kami. Hal yang mengejutkan lagi adalah setelah lima bulan, ibu menikah dengan lelaki lain yang katanya lebih mapan, lebih baik dan sehat. Tidak seperti bapak.