Kamu Seperti Waktu

Muyassarotul Hafidzoh
Chapter #3

#3 Pertemuan

Kamu Seperti Waktu

Novel Muyassarotul Hafidzoh

TIGA

Pertemuan


Beberapa tahun yang lalu

Namaku Hazen, sudah ketiga kalinya aku melihatnya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu menaiki bus transjogja saat jam pulang sekolah. Dia menyita perhatianku. Dia tidak membiarkan rambut panjangnya terurai, ada scrunchie yang mengikat rambutnya. Dia pun selalu menggunakan earphone, entah apa yang dia dengarkan.

Wajahnya selalu sendu, hingga aku ingin sekali melihat senyumnya. Tangannya sibuk mencoret-coret bukunya, aku menyangka dia sedang menggambar sesuatu. Setiap bertemu dengannya, dia sama sekali tidak pernah melihatku, jadi aku cukup bebas melihatnya.

Seperti hari yang lalu dia turun di halte sebelum halteku. Setelah dia turun, aku pun melanjutkan membaca buku yang terhenti karena memperhatikannya. Tak lama bis berhenti di halte tujuanku. Aku turun dan melangkah seperti biasa.

Kakiku berjalan menuju tempat yang paling aku suka. Sebuah kafe milik pamanku, di lantai dua dan tiga ada ruang baca yang cukup luas. Sebelum aku menaiki tangga aku memesan makanan dan minuman, karena salah satu syarat naik ke lantai berikutnya adalah memesan makanan atau minuman dulu.

“Mas, bawakan aku cappuccino sama tahu crispy,” kataku kepada Mas Coky dengan menggunakan bahasa isyarat, karena Mas Coky salah satu karyawan pamanku yang tuli. Dia mengacungkan jempol menandakan oke. Kemudian aku bergegas menuju lantai dua.

Nama kafe pamanku adalah Kafe Bersama. Entah mengapa paman memilih nama ini, yang jelas, karyawan di Kafe Bersama ini dari berbagai latar belakang. Beberapa karyawannya termasuk disabilitas. Ada yang tuli ada juga yang disabilitas fisik. 

Di lantai dua kafe ini ada ruang baca untuk anak-anak sekaligus ruang ekspresi seperti ruang musik dan mendongeng. Sedangkan di lantai tiga ada ruang baca untuk umum. Di lantai tiga ini ada dua ruangan. Satu ruangan untuk koleksi Buku referensi primer, jurnal penelitian, koran dan majalah, ruangannya tidak terlalu luas dibanding ruang lainnya, sekitar 8x5 meter. Di ruangan ini pengunjung tidak begitu banyak, selain tempat duduknya hanya terbatas, juga karena anak-anak muda lebih memilih ruangan satunya. Ruangan satunya itu terdapat koleksi buku umum dan juga banyak Novel di sana. Ruangannya cukup luas dan sering rame. Banyak mahasiswa atau pelajar yang menghabiskan waktu di sana.

Ruang baca di Kafe Bersama milik pamanku ini sangat unik, tak jauh beda dengan perpustakaan tapi dia tidak melarang pengunjung membawa makanan dan minuman, asalkan tidak membawa makanan dan minuman dari luar, harus beli di kafe ini.

Untuk lantai dua ada aturan berbeda, ruang baca di lantai dua untuk keluarga dan anak-anak. Oleh karena itu ruang baca di lantai dua membutuhkan space sendiri untuk menyantap hidangan dan untuk ruang baca. Alasannya kadang anak -anak masih suka berlarian, jadi untuk menjaga kebersihan, maka paman menyediakan tempat khusus bagi keluarga yang ingin makan di kafe sambil menjaga anak-anaknya yang belajar atau membaca buku. Ruangan tetap terhubung, namun makanan dan minuman tidak bisa masuk ke ruang baca.

Sudah sejak SMP aku menghabiskan waktu siang sampai sore di sini, di lantai tiga ruang baca koleksi buku, referensi primer, teori, filsafat, jurnal penelitian, koran dan majalah. Ruang baca ini sepi pengunjung, hanya satu dua orang, itu saja keluar masuk. Tapi aku menyukai tempat ini.

Tante Gina adalah adik sepupuhnya ibu, dia sudah menjadi guru matematika sekaligus teman baikku. Tante Gina penjaga ruang baca ini. Dia, selain bekerja di sini, juga punya komunitas belajar di rumahnya. Dulu dia mengajariku di rumah, namun setelah dia menikah dan dia bekerja di sini, akhirnya aku yang dengan senang hati pindah tempat belajar ke ruangan ini. Sebenarnya suami Tante Gina seorang pengusaha sukses, dia tak bekerja pun sudah terpenuhi kebutuhannya. Namun, Tante Gina ini gak bisa diem saja di rumah. Dia dengan senang hati membantu kafe kakak sepupuhnya yang tak lain pamanku. Tante Gina sering mengadakan kajian literasi di sini bahkan acara-acara bersama teman tuli. 

Tante Gina memiliki kepribadian yang luar biasa, dia sangat peduli dengan teman disabilitas. Katanya, seperti panggilan jiwa. Tante Gina merasa ingin melakukan sesuatu untuk teman teman ini. Kemungkinan rasa peduli yang Tante Gina miliki adalah karena Tante Gina seorang CODA atau Child of Deaf Adult. Anak yang lahir dari orang tua tuli, ayah dan ibu Tante Gina tidak bisa mendengar. Itulah sosok Tante Gina yang baik banget karakternya, sehingga siapapun selalu merasa nyaman di dekatnya.

***

Di tahun pertama kuliah ini, aku masih sering ke sini. Kuhabiskan waktu untuk membaca  atau terkadang Tante Gina mengajakku berdiskusi tentang banyak hal. Aku selalu bangga padanya, dia keren menurutku. Karena dia seorang CODA maka tentu dia sangat mahir berbahasa isyarat. Aku sering memintanya untuk mengajariku, tapi Tante Gina selalu bilang kalau mau belajar harus sama guru tuli langsung. Saat aku bicara dengan ibu supaya aku ikut les Bisindo, ibu belum memberi izin. akhirnya aku hanya suka melihat konten - konten dari teman tuli dan sedikit-sedikit belajar dari konten mereka.

Bisindo adalah singkatan dari Bahasa Isyarat Indonesia. Bahasa isyarat ini berkembang secara alami di kalangan komunitas insan tuli di Indonesia, dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya ada dua jenis bahasa isyarat yang cukup familiar digunakan di Indonesia, yakni Bisindo dan SIBI. 

Sistem Isyarat Bahasa Indonesia atau dikenal dengan SIBI ini merupakan sistem bahasa isyarat yang distandarisasi oleh pemerintah dan digunakan dalam pendidikan formal. 

Namun, teman tuli lebih nyaman menggunakan Bisindo dalam kehidupan sehari-harinya. Ada banyak alasan mengapa memilih Bisindo, antara lain Bisindo adalah bahasa yang lahir dari mereka sendiri. Kemudian sudah lebih lama digunakan oleh komunitas insan tuli, bahkan sudah menyuarakan kepada pemerintah untuk meresmikan Bisindo sejak tahun 1974. Sedangkan SIBI baru diresmikan pada tahun 1994. 

Bisindo merupakan bahasa ibu, yakni bahasa yang digunakan sehari-hari insan tuli, layaknya bahasa ibu secara lisan. Sedangkan SIBI memiliki gerakkan isyarat berdasarkan tata bahasa orang dengar. Bagi insan tuli, tata bahasa dalam gerakan SIBI dapat menimbulkan multitafsir dan tidak menggambarkan ekspresi universal dari apa yang ingin disampaikan insan tuli.

Begitu penjelasan dari teman tuli yang saat itu aku mengikuti kegiatan tentang mengenal budaya Tuli, di kafe Bersama ini, beberapa tahun silam. Kalau tidak salah saat itu aku masih kelas XI SMA. 

Aku juga mengingat kalimat dari pembicara saat itu, bahwa tata bahasa penyandang disabilitas tuli berbeda dengan SPOK di dunia dengar, jadi ketika mengikuti kaidah tata bahasa orang dengar yang dilambangkan ke bahasa isyarat, akan terlihat agak rancu.

Dia pun mencontohkan satu kata, yakni kata  'menganggur'. Di dalam bahasa isyarat Bisindo, kata menganggur digambarkan dengan gerakan kedua tangan menopang dagu, seperti orang yang sedang melamun. Sementara dalam bahasa isyarat SIBI, kata 'menganggur' digambarkan dengan gerakan membuat huruf me- (huruf m dan huruf e) kemudian diikuti bentuk isyarat 'anggur' (buah anggur). Rancu kan?

Selain itu Bisindo memiliki variasi di setiap daerah, seperti halnya bahasa daerah lisan, jadi insan tuli lebih nyaman menggunakan Bisindo dan sampai saat ini masih memperjuangkan Bisindo menjadi bahasa resmi di Indonesia.

Aku membuka pintu dan menyapa Tante Gina. Aku langsung duduk di kursi favoritku, dan langsung membuka buku dan membacanya. Tante Gina mendekati ku dan duduk di kursi di depanku.

“Tante mau bicara.”

“Ada apa tante?”

“Tante mau cuti, bentar lagi tante mau lahiran, jadi untuk beberapa waktu tante tidak bekerja. Kalau kamu ingin diskusi, bisa datang ke rumah,’ kata Tante Gina.

Aku mengangguk.

Lihat selengkapnya