Kamu Seperti Waktu
Novel Muyassarotul Hafidzoh
EMPAT
Melawan Trauma
Pagi yang cukup cerah membuat suasana hati ini membaik. Sambutan dari keluarga Mba Gina juga sangat hangat. Setelah sarapan bersama, kami punya agenda sendiri-sendiri. Pak Salim, suami Mba Gina pergi ke Kantor, Mba Gina pergi ke Rumah Sakit untuk mengantar ibunya Check up, dan aku bersiap mengantar Zuhair sekolah.
Setelah mengantar Zuhairi sekolah, aku cukup bingung harus ke mana. Aku enggan pulang ke rumah Mba Gina juga enggan ke mana - mana. Akhirnya kuputuskan untuk pergi ke taman. Aku sengaja membawa sketchbook. Aku mencari tempat duduk yang nyaman dan mulai menggoreskan pensilku.
Wah, sungguh perasaan ini lama tidak aku rasakan, hati berdebar dan semangat membara. Tak kusangka butuh waktu lama untuk kembali merasakan ini. Aku menggambar sebuah ayunan dan beberapa benda di sekitarnya. Jarak dari tempatku ke ayunan sekitar sepuluh meter di depanku. Seperti biasa aku meletakkan satu gambar kecil yang tersembunyi dari keseluruhan gambarku.
Setelah selesai menggambar, kupangku dagu dengan tanganku, kupejamkan mata sejenak. Namun ternyata aku sungguh tertidur beberapa saat. Di dalam tidurku aku melihat diriku yang tak berdaya saat membaca pesan pada ponsel suamiku. Ponsel yang selalu terkunci, mendadak terbuka, ponsel yang selalu dia pegang, kebetulan tergeletak begitu saja di meja kamar kami.
“Apa ini?”
Aku membaca pesan yang dikirim Mba Nindya pada suamiku. Mereka membicarakanku. Aku tidak tahu kalau mereka berteman dan saling berkirim pesan.
“Gila kamu RIf, kenapa bisa Hanim hamil? Bukannya kita udah janji kamu gak akan nyentuh adikku?” Begitu bunyi pesan dari Mba Nindya.
“Adikmu cantik banget kalau habis mandi, sori aku gak bisa nahan. Lagian dia istriku, jadi ya gak ada salahnya kalau aku tidur sama dia. Dia juga mau kok.” Begitu balasan pesan dari Mas Arif. Aku mulai mual saat itu.
“Tapi kamu dah janji sama Moena, dia nunggu kamu loh. Gila kamu! kita kan sepakat kalau kamu nikahi adikku hanya untuk warisan yang dijanjikan kakekmu. Kamu bilang hanya butuh waktu satu tahun, habis itu kamu ceraikan adikku. Kamu berhasil dapat warisan dan rumah bapakku bisa ditempati adikku lagi. Moena tidak keberatan saat itu karena perempuan yang kamu nikahi perempuan tuli seperti adikku, dia yakin kamu gak bakal jatuh cinta sama perempuan tuli.” Tanganku mulai gemetar membaca pesan Mba Anindya.
“Aku memang belum jatuh cinta sama adikmu, tapi sumpah sori betul, ini terjadi begitu saja, kami tiba - tiba dekat dan aku memang belajar memahami bahasanya dan kami hanya berusaha akrab. Tapi, ternyata adikmu lebih cantik dari yang kuduga. Apalagi kalau dia habis mandi, atau saat tidur dengan baju tidur. Anjir, cantik juga dia. Aku sentuh bibirnya dan dia tidak menolak.”
“Gila lo! brengsek! buaya!”
“Hei, kenapa kamu marah?”
“Dia adikku!”
“Iya tapi dia juga istriku!”
“Aku kasih tahu ya, Moena tadi ngelabrak aku, dia marah - marah, dia ngancem akan kerumahmu dan membongkar semuanya. Moena udah tahu kalau Hanim hamil.”
“Cegah dia, aku khawatir Hanim akan terluka”
“Anjir lo ya, jangan bilang kalau sekarang kamu mulai suka dengan adikku? apa yang akan kamu lakuin? Kamu mau balik sama Moena, nasib adikku gimana? dia hamil anakmu! Atau kamu tetap sama adikku, lantas Moena kamu apakan? yakin dia tidak menggila dan bakal mengobrak abrik rumah tanggamu?”
Kakiku melemas, aku berjalan pelan mencari tempat duduk, nafasku mulai sesak.
“Sial, kenapa aku sebodoh ini? kenapa aku tidak berpikir sejauh ini?”
“Udah sadar, kalau tindakan bodohmu ini bisa menghancurkan semuanya.”
“Ini juga usulan dari kamu, lagian kenapa kamu suruh adikmu menikah denganku?”
“Jangan memutar balikkan fakta, Arif. Kita sepakat karena saling menguntungkan. Hanim juga setuju.”
“iya, tapi Hanim tidak tahu kalau kita sedang menipunya.”
“Brengsek!”
“Apa lagi sih?kenapa misuh terus? cari solusi dong.”
“Okey, aku akan mencoba nenangin Moena, bahkan bila perlu dia kagak perlu nungguin kamu lagi.”
“Hey, aku masih mencintai Moena, Anin. Aku tidak bisa melepasnya.”