Kamu Seperti Waktu

Muyassarotul Hafidzoh
Chapter #5

#5 Manipulatif

Kamu Seperti Waktu

Novel Muyassarotul Hafidzoh

~LIMA~

Manipulatif


SEKARANG aku tahu mengapa Mas Arif tidak pernah mau belajar bahasa isyarat. Karena dia tidak berniat hidup selamanya denganku. Sekarang aku tahu sikap baiknya dan rasa sayangnya adalah manipulatif, dia tak lain lelaki biasa yang tidak bisa menahan nafsunya saat bersama dengan perempuan. Apalagi aku istrinya, yang tentu tidak ada penghalang buatnya untuk menyentuhku.

Bodohnya aku yang terlena dengan kasih sayangnya, yang jatuh cinta dengan sikapnya, aku terlalu bodoh menilai seseorang. Aku selalu salah menafsirkan kasih sayang. Sejak dulu hingga sekarang.

Dulu, aku mengira ibu menyayangiku ternyata tidak, aku mengira Mba Anin mengasihaniku ternyata tidak, aku mengira bapak bisa membelaku kapanpun, ternyata sekarang bapak tidak mampu melakukan apapun tanpaku. Kini, aku mengira Mas Arif sudah menyayangiku dan memberikan cintanya untukku, aku mengira dia akan menjadi orang yang terus ada untukku, ternyata semua adalah manipulatif.

Beberapa bulan setelah pernikahan kami, memang tak ada hal yang spesial. Bahkan kami seperti bukan pasangan. Sesuai dengan perjanjian, kami tidak saling menyentuh tanpa ada izin. Bahkan kami tidak saling berkomunikasi. 

Kami tinggal di rumah bapak, kakeknya sangat mendukung Mas Arif untuk tinggal di sini. Kakeknya merasa Mas Arif harus bisa belajar hidup sederhana. Namun, hampir setiap hari mama mertua datang, memastikan semua kebutuhan mas Arif terpenuhi. Aku tidak tahu apakah rencana Mas Arif dan Mba Anin diketahui oleh mama. Aku ragu dia tidak tahu.

Mamanya sangat terlihat jelas bahwa dia tidak menyukaiku. Hanya kakek yang menyayangiku. Kalau Papanya Mas Arif jarang terlihat lantaran kesibukannya, hampir setiap minggu dia berada di luar kota. Roda keluarga mereka ada pada kendali mamanya.

Hanya kakek yang tampak tulus menyayangiku. Saat acara pernikahan kami, kakek menyampaikan banyak hal kepadaku, saat itu Tante Gina membantu menerjemahkannya. 

“Kakek tidak menyangka Arif memilih gadis sepertimu. Sebelum kakek setuju dengan pilihan Arif, kakek diam-diam memperhatikanmu. Semua laporan yang kakek terima tidak ada yang membuat kakek ragu. Kamu gadis baik, dari keluarga sederhana, kamu juga pekerja keras dan telaten mengurus keluargamu. Kamu memiliki kekurangan sama dengan yang lain juga memiliki kekurangan. Tapi kamu mampu mengatasinya dengan baik. Dari sini kakek yakin kamu bisa membantu Arif untuk bisa belajar peduli dan menjadi pribadi yang lebih baik. Kakek mohon bantu Arif ya.”

Aku terharu saat kakek mengatakan itu. Aku pun  mengangguk dan meminta doanya untuk kebaikan dan kebahagiaan kami.

Namun, satu bulan setelah pernikahan kami, kondisi kesehatan kakek memburuk. Aku pun sempat bolak-balik ke rumah kakek untuk membantu merawat kakek. Kehidupan sehari-hariku setelah menikah tidak banyak berubah, justru ada beberapa tanggung jawab tambahan yang harus aku lakukan.

Setiap pagi, aku memasak sarapan untuk bapak, zuhair dan mas arif. Setelah memastikan Zuhair sekolah, dan mas Arif sarapan, aku membersihkan bapak. Membantu bapak mandi, mengganti popok dewasa, dan menyuapinya makan. Setelah bapak bersih dan kenyang, aku membersihkan rumah. Setelah semua selesai, aku mandi dan bersiap ke rumah kakek untuk mengurus kebutuhan kakek. Terkadang mama memintaku untuk membersihkan kamar kakek. Sebenarnya ada yang membantu merawat kakek, namun dia datang siang hari, jadi untuk pagi hari aku yang diminta menjaga kakek.

Setelah dzuhur aku bergegas kembali ke rumah bapak dan menyuapi makan bapak. Memastikan popok bapak, jika bapak pup maka aku menggantinya terlebih dahulu. Setelah jam dua siang aku bersiap untuk melakukan pekerjaanku. Aku mengajar les privat bahasa isyarat dan juga menjadi guru les privat bagi anak - anak tuli. Aku melakukannya sampai pukul lima sore. Setelah itu kembali ke rumah dan aku memasak juga kembali mengurus bapak. 

Mas Arif baru pulang sekitar jam sepuluh malam. Kadang aku sudah tertidur kadang aku masih terbangun. Di awal pernikahan saat dia pulang ke rumah, sama sekali tidak menyapa atau mengajak bicara. Dia masuk ke rumah, mandi dan tidur. aku pun tidak menyapa dan mengajaknya bicara, aku melakukan sesuai keinginannya untuk tidak banyak bertanya.

Namun, aku tetap membuatkan teh hangat dan camilan untuknya. memastikan semua baju dan perlengkapan mandinya tersedia. Selalu berusaha membuatnya nyaman saat di rumah.

Dua bulan pernikahan berjalan, malam itu bapak pup dan popoknya bocor. Saat aku membersihkan bapak bajuku kotor semua. Aku Pun mandi, setelah selesai mandi aku terkejut ada Mas Arif di kamar. Aku belum terbiasa, karena aku tidak pernah berada diposisi seperti ini. Kalau pagi aku mandi setelah semua pergi dari rumah, kalau malam aku mandi sebelum Mas Arif datang. 

Wajar aku terkejut dan merasa canggung, karena aku hanya menggunakan handuk. Kulihat mas arif memalingkan mukanya dan berjalan keluar kamar. Setelah beberapa saat dia mengetuk pintu, tapi aku tidak bisa mendengar. Dia membuka pintu kamar.  Aku meminta maaf karena tidak tahu kalau mas Arif sudah pulang. Begitupun dia meminta maaf karena tidak tahu kalau aku sedang mandi. Kami berkomunikasi melalui tulisan.

Kini giliran Mas Arif yang mandi, setelah Mas Arif selesai, aku masih mengeringkan rambutku. Saat itu aku merasa dia menatapku lama. Namun, aku berusaha tenang. Aku menyakinkan diri kalau dia adalah suamiku yang tidak ada larangan untuk melihatku.

Malam itu tak terjadi apapun, kami kemudian tidur seperti biasa. Aku di tempat tidur, Mas Arif di sofa yang cukup luas yang sengaja dia beli setelah pernikahan kami.

Setelah hari itu sikap Mas Arif berubah. Dia mulai pergi dari rumah agak siang, setelah aku mandi. Kemudian datang lebih awal. Yang membuatku heran adalah dia mau membantuku mengurus bapak. Beberapa kali dia membantu membersihkan bapak dan kadang menyuapi bapak. 

Terkadang dia menawarkan untuk mengantar dan menjemput Zuhair. Aku mulai tersanjung dengan sikapnya. Kemudian dia memasang bel yang ada lampunya di kamar kami, dia bilang supaya aku nyaman. Dia akan selalu memencet bel tersebut saat ingin masuk kamar.

Sungguh sikapnya lama-lama  membuatku berdebar. Lambat laun dia mulai mengajakku berbicara. Terkadang hanya masalah ringan. Dia pun pernah membuat lelucon sehingga aku bisa tertawa. 

Sikapnya yang semakin baik membuat bapak bahagia.

“Apa kamu sudah menyukai suamimu?”

Tiba-tiba bapak mengajakku bicara saat aku menyuapinya. Aku tersipu malu mendengar pertanyaan bapak.

“Perlakukan dia dengan baik, layani suamimu dengan baik,” kata bapak walaupun hanya dengan isyarat satu tangan, tapi aku memahaminya.

“Apakah Mas Arif baik di mata bapak?” tanyaku, bapak mengangguk.

“Kapan kalian akan memberikan cucu pada bapak? Bapak ingin punya cucu sebelum bapak meninggal.”

Lihat selengkapnya