Kamu Seperti Waktu

Muyassarotul Hafidzoh
Chapter #7

#7 Selamat Jalan Bapak

Kamu Seperti Waktu

Novel Muyassarotul Hafidzoh


~Tujuh~

Selamat Jalan Bapak


Kali ini mobil melaju cukup kencang dan hari semakin sore. Sebelum berangkat aku sudah menyampaikan kepada Hanim, bahwa sesampainya di rumah, jenazah bapak langsung dikebumikan, Hanim hanya mengangguk pelan. 

Kami sampai di rumah jam 17.05 sore. Aku membawa kursi roda dari rumah sakit. Dibantu perawat, Hanim kupapah duduk di kursi roda. Semua mata yang hadir tertuju pada perempuan lemah yang duduk di kursi roda dengan selang infus yang masih terpasang di pergelangan tangannya. 

Kudorong pelan menuju rumah, tak lama Zuhair lari menghampiri kami dan memeluk Hanim. Dia menangis kencang, berkali-kali berteriak memanggil bapaknya. Hanim membelai punggung Zuhair dengan pelan, suara tangisan terdengar lirih dari mulutnya, tapi air matanya tak berhenti mengalir.

Kusentuh Zuhair pelan, dan memberi pemahaman kalau Hanim harus segera bertemu bapak. Zuhair berdiri dan berjalan mengiringi Hanim, dengan telapak tangan yang tak mau lepas dari genggaman mbanya.

Saat kursi roda memasuki ruang tamu, Hanim berdiri, tubuhnya yang masih lemah berjalan gontai mendekati tubuh bapak yang terbujur. Kupegangi cairan infus sambil terus memastikan Hanim aman tidak jatuh. 

Kulihat hanim mengusap semua air matanya, dia memastikan tidak ada yang basah pada wajahnya. Kemudian, Hanim mencium kening bapak, memegang tangan bapak yang sudah terbungkus kain kafan dan menciumnya. 

Lalu Hanim terkulai lemas, dia duduk bersimpuh, suara Hanim pun terdengar, suara tangisan yang sungguh pilu. Dia tidak bisa menahannya lagi. 

Tiba - tiba air hujan turun dengan deras padahal langit saat itu tidak cerah juga tidak mendung, hanya saja angin bertiup cukup kencang. Sebagian besar orang masuk ke ruang tamu, walau ada yang bertahan di bawah tenda. Ruang tamu terlihat sempit, karena semakin banyak orang yang duduk dan berdiri di sini, namun semua diam, sangat hening. Hanya suara hujan yang masih kencang bersahutan dengan tangisan kakak beradik itu. 

Kami semua melihat tubuh perempuan lemah itu terduduk lemas di lantai, cairan infus kutaruh pada tiang infus yang aku bawa dari RS. Aku memberi waktu untuknya, aku duduk sedikit menjauh darinya. Kubiarkan tubuhnya menyandar pada tiang yang berada dekat dengan jenazah bapak. Kami juga melihat adiknya yang tertidur di pangkuan perempuan lemah itu. 

Seorang lelaki mendekatiku dan menyampaikan kalau tidak mungkin diadakan pemakan sore ini, hujan terlalu deras dan hanya menunggu beberapa menit waktu magrib datang. Aku diminta menyampaikan kepada Hanim.

Saat aku ingin memanggil Hanim, aku melihat Arif, suaminya mendekati Hanim dan memeluk dari belakang. Hanim berusaha menolak, dia beberapa kali mendorong tubuh Arif. Zuhair bangun dari pangkuan Hanim. Menarik tangan Arif dan berteriak.

“Jangan ganggu Mba Hanim lagi! Pergi!! Pergi!!”

Semua orang terkejut, suara mulai riuh. Aku segera memeluk Zuhair. 

“Tenang Zuhair, tenang,” kataku.

“Hanim, maafkan aku,” kata Arif.

“Tidaaaak, pergi!!!!” Zuhair masih meronta.

Aku semakin erat memeluknya, aku masih bertanya-tanya dengan apa yang sudah terjadi di rumah ini. 

“Arif, please!.”

Kulihat ibunya Arif mendekatinya dan membawanya menjauh dari Hanim dan Zuhair. 

Kucoba menenangkan Zuhair, dan terus memastikan kalau dia tidak marah-marah lagi. “Tenang Zuhair, kamu tidak mau bapak melihat Mba Hanim semakin sedih kan?” Zuhair pun menurut dia mulai diam.

Kemudian aku mendekati Hanim dan memeluknya. Aku memintanya melihat ke arahku, karena aku ingin menyampaikan tentang pemakaman bapak. Tatapan matanya yang layu membuat hati ini sangat pilu.

Hanim mengangguk setuju, pemakaman dilangsungkan besok pagi. Sebagian tetangga berpamitan untuk sholat, mereka menyampaikan akan selalu siap jika diminta pertolongan. 

Langit masih enggan untuk menghentikan hujannya hingga waktu Isya’ tiba. Kulihat Hanim duduk menyandar dengan pandangan mata yang lemah. Aku mendekatinya dan memintanya untuk makan atau minum sesuatu. Tapi Hanim tidak merespon. Aku mulai khawatir.

Kusodorkan gelas berisi air hangat. Aku mohon padanya untuk meminum air tersebut. Pelan - pelan dia meminumnya. 

“Hanim, makan dulu ya,” pintaku. Hanim tidak merespon.

“Aku dah janji dengan dokter untuk menjaga kondisimu tetap stabil. Makan dulu ya sayang, dengan begitu bapak juga akan tenang melihat Hanim makan.”

Dia yang melihat gerakan isyaratku kembali meneteskan air mata. Hanim mengangguk dan mau memakan makanan yang aku ambilkan untuknya. Di luar hujan masih belum reda. Setelah selesai makan, aku memintanya untuk meminum obat yang dibawakan dokter. 

Kemudian pak Diki mendekati kami, “Mohon maaf mba, sebentar lagi para tetangga akan berkumpul untuk membacakan doa dan tahlil.” Aku mengangguk, meminta Hanim untuk masuk ke kamar dulu. Hanim pun menurut.

Lihat selengkapnya