Kamuflase Cinta

Lestari Senja
Chapter #2

Bukan Aku Yang Mereka Mau

Teringat kembali kala itu, sebelum kami menikah.

“Ayu Wandira, kamu mau kan jadi istriku?” Aku yang jauh dari keluarga dan mendapat perhatian lebih dari mas Reno di kota ini, merasa memiliki pegangan baru.

“Iya mas aku mau. Ucapku kala itu tanpa ragu.” Aku memang baru dekat dengan mas Reno dalam tiga bulan, tapi entah mengapa rasanya aku yakin saat itu untuk menerimanya sebagai suamiku.

“Kita dipanggil sama umi dan abi dek.” Ucapnya padaku dengan ekspresi senang dan santai, tangan hangatnya menggenggam erat tanganku yang dingin.

“Memang kenapa kak?” tanyaku penasaran.

“Paling mau bahas masalah pernikahan kita,” jawab mas Reno dengan senyum sumringah.

Kamipun akhirnya bertemu calon mertuaku saat itu.

Ku langkahkan kakiku dengan pasti. Tak tak tak.

Aku berusaha duduk dengan nyaman. Ku letakkan tanganku menyilang tepat di atas paha.

Umi yang tadinya menyenderkan punggung pada kursi kayu panjang yang begitu klasik lengkap dengan ornamen berwana kecokelatannya mulai mrnyondongkan badannya padaku yang duduk tepat di depannya. Jemarinya yang masih terlihat lentik dengan setengah kerutan mulai memainkan gagang kacamata plus yang dipakainya. Kaki sebelahnya pun diletakkan diatas kaki sebelahnya lagi dengan posisi ujung kaki menyilang sehingga rok sempit yang beliau gunakan terlihat seperti tegak lurus.

Beliau mencoba untuk mulai berbicara. Dengan lipstik berwarna gelap di bibirnya, rasanya apapun yang akan beliau katakan terdengar sedikit galak di telingaku.

“Ananda, bisa tidak ya beritahu orang tuanya. Kok mintanya banyak sekali sih. Sebenarnya kalian mau beneran nikah atau tidak? Kok kayak orang nggak berpendidikan aja sih tahan-tahan harga.” Meski terdengar begitu manis, namun tentu saja ia saat ini sangat marah. Aku terdiam. Ku gigit bibir bawahku dengan gigi taringku yang tajam.

“Jangan dipersulit dong kalau memang mau nikah. Kalau memang mau ya." Kini kedua tangan beliau telah terlipat di depan dada. Beliau berusaha memicingkan kacamatanya dengan tatapan tajam padaku.

Ayah mertuaku yang sedari tadi hanya diam, kini ikut menambahkan. Beliau mengangguk-nganggukkan kepala sambil membuang nafas panjang.

“Maksudnya umi, supaya kita sama-sama enak saja nanda.” Tatapan beliau lebih teduh dari ibu mertuaku.

Lihat selengkapnya