Suara lanau dari rumput-rumput teki semakin sengit. Kaki-kaki kecil yang menginjak hamparan lemah itu, mulai menyusun formasi kekuatan. Kedua anak itu riuh, sedang berjuang keras untuk mencabut batang singkong yang tumbuh di pinggiran kebun kacang panjang. Sayangnya ... tenaga mereka terlalu lemah, singkong yang terpendam itu sama sekali tidak terganggu. Rupanya gerimis semalam tidak mampu melunakkan kepadatan tanah yang mengeras.
Seorang pria berwajah kotor dan berpakaian compang-camping berhenti di seberang mereka. Pucuk rambut gondrongnya melandai, mengikuti kemiringan kepalanya. Dia sedang mengira-ngira apa yang dilakukan oleh kedua anak itu. Sontak ... bola matanya mengkilap mengiringi frame senyumnya yang lugas. Dia ikut bersemangat.
Mereka bermain ... mereka bermain.
"Ayo, memengan ambi Omcep1," ucapnya sambil mengulurkan beberapa juntai buah kacang panjang yang baru saja dipoteknya.
Kedua anak itu terengah-engah dan tidak serta-merta menanggapi ajakan Omcep. Rona wajah mereka sudah semerah tomat, tampaknya mereka tidak sanggup lagi mengalahkan kekuatan pohon singkong itu. Padahal mereka sudah berangan-angan, sarapan pagi ini adalah singkong rebus yang hangat.
"Bantu kami dulu cabut singkong, Omcep. Kamu mau singkong, ora2?"
"Emoh! Ndak3 mau!" seru pria itu sambil mengunyah kacang panjang di tangannya, suaranya mirip tikus yang sedang makan.
Satu anak kembali, dia memasang posisi cengkraman kedua tangannya dan membuka kakinya lebih lebar, tampaknya dia tidak berputus asa. Sekali lagi ditariknya batang singkong itu dengan sekuat tenaganya ... sampai-sampai tubuhnya ikut doyong ke arah parit pengairan.
"Angel tenan!"4
"Lah, kok ampred. Kudu golek pacul dhisik!"5
Sang pejuang tetap tidak perduli. Begitu kuat tenaga tarikannya, sampai-sampai urat-urat di tubuhnya keluar semua. Suara erangannya panjang mirip orang sembelit di jamban.
"Uwes6, Dul ... sudah."
Kraakkk!
Suara patahan itu terdengar renyah, usai kawannya menegur. Si pejuang singkong itu terjungkal. Malangnya, kepalanya duluanlah yang tercebur ke dalam parit, sampai-sampai dia gelagapan. Patahan batang singkong itu memang berhasil dia patahkan ... tetapi, umbinya tetap saja teguh di dalam tanah.
Suara tawa langsung pecah, kawannya yang tadinya berdiri sampai terduduk memegangi perutnya ... dia terpingkal-pingkal sampai perutnya kejang. Omcep yang menonton pun ikut-ikutan tertawa.
"Celeng! Madhyang belethok baen!7" umpat si pejuang singkong cepat-cepat mengusap-usap wajah pucatnya. Dilemparnya batang singkong patah itu ke arah kawannya, sambil terbatuk-batuk.
Omcep segera menegakkan tubuhnya. Sisa kacang panjangnya, langsung saja dikunyahnya habis. Kedua netranya mengerdip seraya mengangkat arah pandangannya ke angkasa ... warna jingga dan abu di ufuk timur memudar. Kaki lusuhnya kembali lincah, meniti jalanan di seberang kebun kacang panjang itu.