Kamukah Jodohku?

Daud Farma
Chapter #1

Awamaalia University

Namanya, Marwa, gadis manis bermata biru, beralis lebat berwarna hitam, berhidung mancung, berparas cantik jelita dan manis, pipinya padat berisi, chubby, kalau melihatnya sedang tersenyum akan meninggalkan dua kesan:imut dan menggemaskan. 

Dia langsing dan cocok jadi pramugari, tinggi dan ahli merias diri. Pintar, pandai mengaji dan hafal kalam Ilahi. Teman-teman kampusnya menjulukinya dengan sebutan, "The Queen of Awamaalia University." Bahkan sebagian teman lelaki di kampus yang mulutnya tidak digembok menamainya, "Bidadari kesiangan menantu idaman."

Dia sudah berumur delapan belas tahun. Siapa saja pertama kali melihatnya, maka akan mengucek mata tiga kali kemudian memuji, "Katrina Kaif sudah muallaf?!" Atau mulutmu akan terbuka tanpa sengaja, "Ternyata Karina Kapoor pandai juga memakai jilbab!" Atau begini, “Sepertinya namanya, Hummy, dia selebgram Turky!”

 Awal bulan Agustus lalu adalah kali pertama ia menginjakkan kakinya di Kampus Anta Wa Maaluka Li Abiika atau disingkat dengan Awamaalia. Dulu bukan Awamaalia nama kampus yang sistim kuliahnya dari pagi sampai zuhur itu.

Nama lamanya adalah Anta Maahirun atau disingkat jadi Amarun. Sudah ribuan alumni dan rata-rata alumninya bekerja di kantoran, dominannya mereka mempunyai pekerjaan yang menjamin hidup bahagia paling tidak tiga turunan seumur hidup. Namun, pengajaran, pendidikan selama empat tahun di kampus ternyata tidak cukup untuk membentuk karakter, akhlak, rendah hati dan sifat kedermawanan mahasiswa setelah diwisuda. Sehingga tidak sedikit alumni yang lupa pada dirinya, seperti kacang lupa pada kulitnya.

Mereka sombong antar sesama, guru bahkan lupa pada kedua orang tua. Ternyata pihak kampus menyadari akan hal ini, para dosen-dosen dan pembesar kampus tidak ingin alumnusnya seperti Malin Kundang. Pihak kampus tidak ingin alumnusnya hanya memiliki ilmu yang banyak, pintar dan lihai dalam segala bidang tapi jauh dari Allah.

Mereka sombong dengan yang mereka miliki, lupa bahwa semua itu adalah sebatas titipan dari Allah Subhaanahu Wataala, hanya sementara saja. Maka jadilah nama kampus itu diubah menjadi, "Anta Wa Maaluka Liabiika, kamu dan hartamu adalah milik bapakmu." Setelah nama kampus itu diubah, kini mahasiswa dan mahasiswinya terlihat seragam, sederhana dan rendah diri.

Kebanyakan mahasiswanya memilih naik sepeda dan berjalan kaki ke kampus. Nama mengubah segalanya meskipun tidak semudah itu kedengarannya. Ada beberapa mahasiswi yang masih diantar ke kampus, tetapi tidak diizinkan melewati gerbang kampus, hanya sampai di depan gerbang utama saja. Salah satu dari mahasiswi yang diantar supirnya itu adalah, Marwa.

Di dalam komplek kampus Awamaalia ini hanya ada lima bangunan. Jarak masing-masing gedung adalah seratus dua puluh lima meter. Gedung Maryam, tujuh lantai untuk perempuan. Gedung Ta'allam Walaa Tuksirul Kalaam, belajarlah dan jangan banyak ngoceh, tujuh lantai untuk laki-laki. Masjid Awamaalia, dua lantai untuk laki-laki dan perempuan, lantai pertama khusus laki-laki dan lantai kedua khusus perempuan.

Gedung Al-Jannatu Tahta Aqdaami Ummahaat, surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu, tiga lantai untuk para dosen dan gedung serba guna. Dan juga gedung Ta'kul Tasyrab Walaa Tahrab, kamu makan, kamu minum dan jangan kabur, dua lantai, besar dan mewah. Lantai pertama untuk laki-laki dan lantai kedua untuk perempuan. Di tengah adalah lapangan hijau yang luas dan memukau.

Pembatas lapangan antara perempuan dan laki-laki adalah bunga mawar yang tumbuh rindang setinggi lutut. Sekarang semuanya sedang mengembangkan bunganya yang berwarna merah merekah, very-very beautiful, istilah terkeren dari negeri yang moyoritasnya tidak percaya bahwa surga jauh lebih indah dibandingkan dunia yang fana.

Tidak ada yang berani mendekati pembatas itu kecuali bagi mereka yang akan berwisuda nantinya. Disiplin kampus melarang keras akan hal itu. Pernah dulu seorang mahasiswi semester satu mencoba mendekatinya, niatnya hanyalah ingin memetik satu tangkai bunga mawar saja.

Ketika ia telah mematahkannya, seorang petugas kebersihan melihatnya dan ia dilaporkan kepada dosen. Esoknya anak itu tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya di kampus Awamaalia. Bunga-bunga itu memang sungguh indah, tetapi karena disiplinnya yang tak dapat ditawar, ia tak ubahnya adalah bagaikan api yang membakar, memusnahkan.

Hari ini hujan lebat, mentari enggan tersenyum dan bersembunyi di balik awan. Pelajaran tambahan itu mengakibatkan seluruh mahasiswa semester satu pulang di sore hari.

Waktu magrib hanya empat puluh menit lagi. Seorang lelaki yang memakai jas kuliah berwarna hijau itu menunggu angkot di depan gerbang kampus, lebih tepatnya di Pos Pak Satpam. Hari ini ia tidak membawa sepedanya, dipinjam temannya belanja ke pasar untuk kebutuhan sehari-hari. Jarak dari tempat ia tinggal ke kampus setengah kilo meter.

Semuanya telah pergi, kampus sudah sepi. Pak Satpam pun telah menutup jendela Pos Satpamnya. Pos Satpam itu cukup besar, seperti rumah untuk ditempati tiga orang. Lelaki yang sisiran rambutnya miring ke kanan itu berdiri di samping kanan Pos Satpam dan menoleh ke jalan raya memasang kedua matanya untuk menangkap angkot yang lewat.

Namun sudah lima belas menit ia berdiri, angkot belum lewat juga. Tidak sengaja ia menoleh ke kiri, tepat di bibir dinding sebelah kiri Pos Satpam itu berdiri seorang mahasiswi. Hari hampir gelap dan kelelawar akan segera beraksi.

 Mahasiswi itu juga bediri dan menundukkan kepalanya ke arah buku yang ia genggam. Lelaki itu kenal sekali dengan buku yang ia pegang. Buku itu adalah, 'MamuZain' karangan Dr. Ramadhan Al-Buthi, kisah cinta yang tumbuh di bumi dan berbuah di langit. Mamu adalah nama laki-laki dan Zain adalah nama perempuan. Mamu dan Zein bertemu pada pesta tahunan musim semi, di pinggiran sungai Dajlah.

Saat itu Mamu berdandan seperti perempuan dan Zein berdandan seperti laki-laki. Mereka melalukan penyamaran karena masyarakat Jazirah Buton membatasi dengan ketat pergaulan antara perempuan dan laki-laki. Sementara Mamu dan Zein ingin mencari pasangan yang bisa membuat hati mereka terpikat dan jatuh cinta. Bukan pasangan yang dijodohkan. 

Dalam pertemuan nan singkat itu, Mamu jatuh pingsan. Aneh. Sosok laki-laki yang berjalan di depannya begitu memesona dan menggetarkan rasa cinta yang agung. Mamu tidak akan pernah tahu siapa laki-laki itu jika saja dia tidak melihat cincin yang melingkar di jarinya dan baru dia sadari beberapa hari kemudian! Cincin itulah yang mengantarkan Mamu pada Zein dan membuat cinta di dada mereka kian menggelora. 

Masalahnya, Zein ternyata adik kandung pangeran yang menguasai Buton, sedangkan Mamu hanya juru tulis biasa. Mamu dan Zein tidak sekelas, sekalipun cinta mereka tulus. Buku ini merupakan karya pertama Dr. Moh. Said Romadhan al-Buthi di bidang penulisan. Pada saat menulis kisah ini usia beliau belum genap 14 tahun. Usia yang sangat belia untuk bisa menelurkan sebuah karya sastra. 

 Sering mahasiswi itu menoleh ke arah lelaki yang berdiri di sebelah kanannya, jaraknya hanya tujuh meter. Ia berani menolehkan wajahnya ketika lelaki itu menyetel pandangannya ke jalan raya, mata lelaki itu mengintai-ngintai angkot yang lewat.

Dua puluh menit berlalu, mobil berwarna hitam dengan lampu yang menyala berhenti di depan gerbang kampus. Mahasiswi itu segera bergegas ke arah mobil membuka pintu dan masuk.

"Maaf, Non, Om telat dua puluh menit. Macet."

"Nggak papa, Om." sahutnya.

Hujan masih deras, supir itu berkali-kali menekan kelakson, mengisyaratkan agar lelaki yang sedang berdiri di sebelah kanan pos itu juga masuk ke dalam mobil. Mahasiswi itu telah menyuruh supirnya untuk menekan kelakson sebanyak lima kali. Karena lelaki itu tidak mengerti juga, akhirnya perempuan yang berparas Hummy itu menurunkan kaca mobilnya.

"Sampai kapan betah berdiri di situ? Ayo masuk! Angkot nggak akan lewat kalau hujannya belum reda."

Lelaki itu pun mendekat dan supir membukakan pintu depan sebelah kiri.

"Tinggal di mana, Nak?" tanya supir sambil memutar setir ke kanan.

"Di desa Fakkir Qabla Anta’zima, Om berpikirlah sebebelum bertindak. Lebih tepatnya di masjid Shaseedishal."

"Owh, tepat sekali, kami melewati desa itu juga."

Mobil berlari dengan kecepatan enam puluh. Sesekali ia melihat ke kaca spion. Tampak di belakangnya perempuan yang berani bertanya padanya tadi sedang membaca buku yang tadi ia pegang. Perempuan itu merasa sering dirinya dilihati lewat kaca spion, tajam betul matanya. Akhirnya ia memberanikan dirinya untuk bertanya untuk kedua kalinya.

"Kamu tinggal di masjid ya?"

"Ya, alhamdulillah"

"Oh, sudah saya duga."

"Duga bagaimana?"

"Ya biasanya orang yang mengumandangkan adzan di masjid kampus adalah orang yang dipilih oleh dosen dari mahasiswa yang memang tinggalnya di masjid."

"Gitu, ya?" kata lelaki itu menganggukkan kepalanya. Dalam hatinya berkata, "Ini orang memang tau atau sok tau sih?"

"Ya begitu, oh ya kenalkan namaku, Marwa."

"Saya..," Belum sempat ia menyebutkan namanya, dilanjutkan oleh Marwa.

Lihat selengkapnya