Pagi, pagi sekali ketika mentari mulai menyinari bumi mereka sampai di rumah. Ratna sudah masuk duluan ke dalam rumah.
Retno tidak mau masuk, ia langsung saja memeluk mobilnya. Mengelus-elus kap mobilnya dengan penuh kasih sayang. Dia lap debu yang menempel di kaca depan dengan kaus yang baru dibelikan Ratna ketika mereka mampir di sebuah toko baju di pinggir jalan pada saat pulang dari berkemah.
Belum sampai sehari kaus itu melekat di badannya tapi ia perlakukan jadi kain lap. Retno sudah tak sabar ingin memegang setir dan mengemudi. Retno menghidupkan mobilnya dan mengemudi di halaman depan rumahnya sampai hatinya terpuaskan, sampai rasa rindunya habis dilampiaskan ke mobil kesayangannya yang telah terasa lama sekali ia rasa tidak ada di sisinya.
Setelah empat kali ia mengelilingi halaman rumahnya, Retno pun memarkirkan mobilnya lalu ia masuk ke dalam rumah. Ratna sudah terkapar di sofa karena kelelahan. Sementara Retno, belum sempat istirahat dan ia malah ingin mengemudi.
Sedikit aneh memang kalau rindu sudah berlebihan, rasa lelah bisa disembuhkan ketika melampiaskannya kepada yang dirindukan, seperti Retno. Ternyata selain Ratna, Retno punya kekasih kedua yang tak dapat lama dipisahkan darinya. Padahal hanya beberapa hari tidak mengemudi, kalau sampai sebulan? Mungkin Retno lupa pada Ratna.
Karena rasa rindu sudah terlampiaskan dan memuaskan, kekuatan Retno malah bertambah, ia masih punya tenaga. Retno tidak merasa kelelahan. Ia langsung memasak untuk istri tercinta yang sedang berbaring di atas sofa. Karena jadwal yang tertempel di dinding untuk menu pagi ini adalah telur mata sapi, Retno mencari sana-sini di sekeliling dapur. Tidak dapat ia temukan sebutir telur pun.
Retno membuka kulkas dan yang ada hanyalah buah-buahan, tomat, cabai, bawang merah dan daging ayam yang sudah beku. Retno kembali ke Sofa. Ia mengambil dompetnya yang ada di dalam tas istrinya. Retno pun ke depan rumah, matanya melongo ke kiri-kanan dan belum ada toko yang buka. Pedagang yang membawa gerobak juga belum lewat sebab air embun saja masih menggenang di atas dedaunan.
Retno kembali ke dalam rumah lalu ia mengambil kunci mobil. Melihat istrinya masih tidur dan kelelahan, ia tidak tega membangunkan apalagi untuk mengajaknya pergi mencari makan. Retno juga sangat menyesal kenapa tidak langsung membeli makan ketika masih di jalan menuju pulang. Retno hanya mencubit manja pipi kiri Ratna, ia selimuti Ratna dengan jaketnya agar Ratna tidak kedinginan dengan embun pagi.
Setelah mencubit manja lagi di pipi sebelah kanan istrinya, Retno keluar dan mengunci pintu dari luar. Ia masuk ke dalam mobil dan mulai menghidupkan mesin lalu putar setir ke kiri. Retno kembali mengendarai mobilnya di jalan raya. Sesekali matanya melihat kiri-kanan sepanjang jalan, belum ada kedai maupun ibu-ibu yang menjual nasi dan lauk, padahal ayam jantan dari tadi sudah kelelahan dan kering tenggorokannya berkokok.
Suasana pagi di kampung Retno ini tidak jauh bedanya seperti suasana pagi musim salju di negeri yang bersalju. Sepi sekali. Di ujung jalan, simpang tiga itu Retno berhenti. Sudah setengah jam ia mengemudi dengan kecepatan dua puluh kilo meter perjam dan barulah ia melihat tiga orang ibu-ibu berjualan.
Tiga ibu-ibu itu bekerja sama dalam satu tempat di depan sebuah rumah yang cukup strategis untuk berjualan. Simpang tiga ini sudah lumayan ramai dengan pengunjung. Seorang ibu pertama khusus menangani pisang goreng, ibu kedua menangani khusus nasi bungkus dan lauk pauk, dan seorang ibu terakhir khusus kasir dan membantu sekenanya. Sesekali mereka gantian bila sudah kelelahan. Ketika pengunjung sepi, tidak ada yang menjadi kasir.
Semuanya jadi pekerja. Retno membeli nasi dua bungkus seharga sepuluh ribu untuk satu bungkusnya termasuk lauk telur mata sapi. Lauk yang paling murah di dagangan ibu-ibu simpang tiga. Retno sengaja memilih lauk telur mata sapi. Karena memang seperti itu jadwal menu yang Ratna tempel di dinding dapur. Retno sebenarnya punya uang lebih dan cukup membeli lauk daging, tapi lagi-lagi jadwal adalah keputusan forum rumah tangga yang tidak mudah diubah oleh satu pihak saja walaupun ia adalah seorang suami.
Terlebih Retno dan Ratna tidak biasa makan daging di pagi hari. Retno juga membeli pisang goreng. Satu pisangnya seharga dua ribu rupiah. Setelah ia bayarkan semuanya ke kasir. Retno pun bergegas pulang ke rumah. Waktunya sudah habis satu jam lamanya gara-gara menunggu antrean yang panjang.
Ketika menuju pulang, toko kiri kanan Retno sudah buka dan sudah banyak yang jualan nasi maupun gorengan. Tak lama Retno sampai di rumah. Ia memarkirkan mobilnya di garasi lalu membuka pintu dan masuk ke dalam.
Sampai di ruang tamu, ia tidak menemukan Ratna di sofa. Ia susul ke kamar mandi dan pintu kamar mandi juga terbuka, Ratna tidak sedang mandi. Retno melihat ke dapur dan tidak juga ia temukan. Terakhir Retno ke kamar dan ia menemukan Ratna sedang memasukan pakaian demi pakaiannya ke dalam koper biru. Retno melihat pipi Ratna dibanjiri air mata. Retno hanya bisa diam berdiri lama di bibir pintu seperti tulangnya mulai keropos dan Retno terduduk di pintu kamarnya, juga kamar istrinya.
Setelah semuanya koper itu penuh, Ratna bergegas keluar dari dalam kamar dan memberikan selembar kertas kepada Retno. Isinya pendek dan padat. Retno belum dapat berkedip. Ia masih menatap lemari yang masih terbuka dan rak kedua dari lemari itu telah kosong, isinya sudah ada di dalam koper Ratna. Sambil menangis Ratna pergi ke depan rumah.
Sementara Retno tidak dapat mencegahnya, ia masih terduduk di bibir pintu kamar dan masih menatap lemari. Tulang-tulangnya sudah keropos dan mungkin air matanya juga segera membanjiri kedua belah pipinya. Ratna sudah di pinggir jalan besar dan ia berlalu bersama bis di pagi hari. Retno? Retno masih belum percaya bahwa ini adalah nyata. Retno tidak percaya bahwa ini akan terjadi.