Pagi ini Firman dan Marwa ingin menjenguk Tauke. Walaupun baru dua minggu Firman meninggalkan markas sawit Takkan Aku Ulangi Lagi. Hati Firman sedang menggebu-gebu ingin bertamu ke markas sawit dan bertemu Tauke.
Lagipula Firman punya pertanyaan khusus untuk Tauke, pertanyaan yang harus ia tanyakan karena tuntutan untuk romantis oleh Marwa.
"Adek, sudah siap?"
"Sudah, Bang!"
Firman dan Marwa pamit kepada kedua orang tuanya kemudian masuk ke dalam mobil.
Perlu waktu tujuh jam lamanya menuju ke markas sawit Tauke. Marwa sudah menyediakan plastic kantong untuk jaga-jaga kalau ia sampai muntah, sebab ia tidak tahan dengan perjalanan jauh. Firman menghidupkan mp3 Al-Quran dengan suara syaikh Sudais. Tapi Marwa maunya suara syaikh Misyari Rasyid saja. Firman hanya bisa menurut. Marwa segera menghidupkan bluetooth handphone miliknya.
Wanita cantik yang suaminya Firman itu hari ini mengenakan jilbab biru, kaus lengan panjang yang juga biru dan celana training warna hitam. Marwa sudah izin kepada Firman memakai pakaian seperti itu. Karena Marwa suka berkeringat kalau memakai gamis ketika berpergian jauh. Firman pun mengizinkan tetapi ketika mau sampai di markas sawit Tauke nanti, Firman harus singgah di tempat ganti dan Marwa harus ganti dengan pakaian yang lebih cocok digunakan untuk bertamu. Apalagi sekarang adalah menuju rumah Tauke yang tidak lain sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri. Bahkan Firman sempat memanggil Tauke ayah, dulu waktu ia masih amnesia.
Enam jam perjalanan telah ditempuh, jam sudah menunjukkan pukul tiga belas lewat dua puluh lima menit. Satu jam lagi mereka akan sampai di markas sawit Takkan Aku Ulangi Lagi. Di sebelah kanan jalan itu ada berdiri sebuah warung makan muslim yang menarik perhatian untuk mampir. Rumah yang tunggal dan di samping kirinya berdiri dua tumpuk pohon bambu yang rindang dan padat.
Di samping kanannya terlihat indah sungai jernih yang mengalir. Rumah makan itu dengan dinding terbuka sehingga yang mampir bisa menikmati indahnya pemandangan di sekeliling. Rumah makannya terbuat dari bambu.
Kursinya kursi bambu. Mejanya makannya meja bambu, cangkir minumnya juga cangkir bambu, piringnya? Bambu agak sulit dijadikan piring. Piringnya tetap piring plastik tapi warnanya warna bambu, ada yang hijau dan ada juga yang kuning. Penjaganya juga memakai kaus dengan motif dua tumpuk bambu rindang serta piring dan garpu.
Pemilik warung nasi menempelkan tulisan besar di atas pintu masuk: "Rumah Makan Dua Bambu". Orang yang singgah di warung makan itu segera memahami bahwa maksud nama yang tertulis sudah jelas di situ memang ada dua tumpuk bambu yang padat nan rindang.
"Silakan pesan dulu, Bang. Aku mau ke kamar mandi dulu sekalian ganti pakaian."
"Baiklah. Tapi lihat-lihat, pilih kamar mandi yang benar-benar tertutup ya?"
"Ya, Abangku sayang." Marwa bergegas menuju kamar mandi. Firman memesan dua porsi pesanan yang sama.
Lima menit kemudian pesanan Firman datang dan terhidang rapi di atas meja. Tak lama menunggu, Marwa keluar dari kamar mandi. Begitu ia sampai di meja makan, Marwa kaget bukan sengaja.
"Banyak kali, Bang?!"
"Ya, di sini memang seperti ini untuk porsi dua orang. Dulu aku sudah pernah dua kali kemari dengan Tauke."
"Tapi ini banyak sekali. Pasti tidak habis!"
"Habis!"
"Tidak!"
"Habis!"
"Tidak!"
"Habis!"
"Tidak!"
Kalau penghidang warung makan tidak datang menghampiri menanyakan apa yang tengah terjadi? Firman dan Marwa tidak akan berhenti berdebat. Begitu tukang hidang itu pergi, Firman dan Marwa tertawa malu.
Nasi dua piring penuh dan ada nasi tambahan satu piring yang juga penuh. Jus ada dua macam, jus alpukat dua gelas dan jus jeruk dua gelas. Air putih dua gelas dan teh manis juga dua gelas. Sup daging dua mangkuk. Daging rendang satu mangkuk. Ayam bakar satu piring, sayur bayam dua piring. Firman juga mesan satu porsi lagi dibungkuskan untuk Tauke.
Awalnya Marwa remeh, ia mengira masakannya sudah tidak ada lagi yang menandingi. Ketika ia melihat suaminya makan dengan lahap, ia pun penasaran dan segera mencicipi. Pertama kali Marwa mencicipi sup kambing.
"Nanti waktu pulang dari rumah Tauke, kita harus mampir lagi pokoknya!" Begitu testimoni Marwa.
"Dibilangin nggak percaya sih!"
Firman dan Marwa melahap ludes hidangan itu hanya dalam waktu tiga puluh menit. Terakhir mereka minum air putih. Lalu Firman pun segera ke tempat kasir. Firman langsung memberikan dua ratus ribu rupiah. Ia sudah tahu harga tepatnya. Dua kali sudah Tauke mengajaknya ke Warung Makan Dua Bambu, dan dua-duanya menu dan pesanan yang sama juga bayaran yang sama. Dengan Marwa ketiga kalinya dengan pesanan yang sama dan bayaran yang juga sama.
Firman dan Marwa masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan. Firman mulai memasuki jalan yang sepi. Kiri kanannya pohon sawit yang sebagian tingginya sepuluh meter. Pohon-pohon sawit itu sedang tidak mempunyai buah yang masak, sebab minggu lalu anak buah Tauke baru memanennya.
Sepanjang jalan dengan tempuh setengah satu jam perjalanan, Firman dan Marwa melihat pohon sawit berbaris rapi dan bersih. Jalan aspal pun sudah ada yang berlubang karena sering dilindas oleh fuso-fuso pembawa sawit. Lubang-lubang itu sebagiannya masih menampung air hujan yang telah menjadi kuning karena telah terkena tanah.