Tauke masih mengantuk. Ia bersandar di pintu dengan memegangi gagang pintu tapi ia tidak membukakan pintu. Tauke menunggu bel itu dipencet dari luar, mata Tauke masih terpejam sambil berdiri.
Tauke setengah percaya ada orang yang berani memencet bel di tengah malam begini. Sudah pasti itu bukanlah anak buahnya. Hanya hantu yang salah alamat dan tak tahu adat saja yang berani melakukannya. Bel kembali dipencet oleh Dokter Nadia. Sambil menutup mata Tauke membukakan pintu.
"Asalamu'alaikum.." Dokter Nadia menyapa dengan santun. Ketika Tauke mendengar suara Dokter Nadia yang mengucapkan salam padanya, lalu ia pun membukakan kedua matanya dan menatap tajam tak berkedip seakan kedua matanya ingin melompat ke luar lalu kedua biji matanya itu melayang di dekat wajahnya Dokter Nadia untuk memastikan bahwa yang sedang berdiri di depannya adalah Dokter Nadia.
"Wa'alaikumussalam warahmatulahi wabarakatuh.." Tauke menjawab dengan sangat fasih, sefasih yang ia bisa. Tauke sudak tidak mengantuk lagi. Tauke sudah segar kembali seperti sehabis mandi di pagi hari setelah menjawab salam Dokter Nadia.
Tauke mempersilakan Dokter Nadia masuk ke dalam rumah. Pintu depan sengaja tidak ia kunci supaya anak buahnya tidak berburuk sangka padanya. Pintu depan terbuka selebar-lebarnya. Ia panggil dua orang anak buahnya untuk berjaga di depan pintu sekaligus menjadi saksi bahwa dirinya dan Dokter Nadia tidak melakukan suatu perbuatan yang mendatangkan dosa kecil maupun dosa besar.
Botak sudah terlelap di kamar sebelah Tauke. Ingin Tauke membangunkan Botak tetapi ia sendiri ingin juga membuat tamunya terkesan padanya. Maka Tauke pun mulai pontang-panting di dapur. Setelah istrinya minggat, baru kali ini Tauke masuk ke ruang dapur dan pertama kali pula ia membuatkan kopi untuk orang lain.
Jangankan untuk orang lain, sejak ia punya anak buah, Tauke tidak pernah lagi membuatkan kopi untuk dirinya sendiri. Tapi malam ini yang bertamu adalah seorang bidadari cantik dari Kampung Kekucakeme. Yang bertamu malam ini adalah pujaan hati. Maka seharusnya hal-hal sepesial haruslah dilakukan untuk orang yang juga sepesial.
Tauke memasak air panas dengan pemanas air yang dicolokkan ke listrik. Tak lama airnya mendidih. Tauke menyendok satu sendok bubuk teh lalu ia mencari gula. Matanya melihat kesana-kemari toples yang isinya warna putih.
Akhirnya ia temukan toples yang bersampingan dengan toples bumbu-bumbu masak, seperti ketumbar, kunyit, jahe, cengkeh, kari, kayu manis dan bumbu lengkap lainnya. Tauke menyendok dua sendok yang berwarna putih itu. Lalu ia aduk dengan penuh perasaan.
Tauke memasukan perasaannya ke dalam segelas teh buatannya, berharap perasaanya itu diminum oleh Dokter Nadia dan Dokter Nadia segera peka bahwa yang menghidangkan teh untuknya adalah lelaki yang cinta mati padanya. Lima belas menit Tauke berada di dapur untuk membuat the saja, ya hanya mebuat teh. Sudah lebih dua tahun ia tidak membuat teh, jadi harap maklum bahwa lima belas menit adalah waktu yang sedikit bagi Tauke.
Tauke keluar dari dalam dapur dengan membawa segelas teh di atas mangkuk yang khusus tempat gelas teh. Karena sangkingkan lamanya, Dokter Nadia yang menunggu di ruang tamunya sudah tertidur. Dokter Nadia kelelahan, ia belum tidur seharian ini. Tauke bingung bagaimana caranya agar Dokter Nadia bangun dan meminum teh yang berisi perasaannya.
Tidak baik rasanya jika membangunkan Dokter Nadia dengan memanggil namanya apalagi mencubit pipinya yang cantik, imut dan menggemaskan itu. Tauke menemukan cara lain. Ia kembali ke kamarnya dan mengambil handphone miliknya lalu ia kembali ke ruang tamu dan berdiri di depan Dokter Nadia.
Tauke menelepon ke nomor Dokter Nadia yang sedang tertidur di depannya. Handphone Dokter Nadia berbunyi dengan nyaring, tapi tak juga mempan. Sampai tiga kali Tauke menelepon Dokter Nadia, tapi yang ditelepon tak bangun juga.
Ingin rasanya Tauke mengambil segelas air putih ke dapur lalu air putih itu ia masukan kembali perasaannya dan memercikkannya ke pipi Dokter Nadia, tapi ia tidak tega melihat jika nanti Dokter Nadia bangun dengan terkejut karena kena hujan setempat. Tauke sudah kehabisan cara untuk membangunkan Dokter Nadia, andai saja Dokter Nadia itu lelaki, andai saja Dokter Nadia itu adalah si Botak, maka Tauke sudah lama menyiramkan air satu ember. Dan andaikan saja Dokter Nadia sudah halal baginya, maka Tauke akan membangunkannya dengan kata, "Wake up my sweety!" Namun karena Dokter Nadia adalah cintanya yang bertepuk sebelah tangan dan belum halal baginya, Tauke tidak bisa berbuat yang lebih, hanya sebatas menelepon saja haknya.
Tauke menuju kamar Botak dan membuka lemari. Lemari besar itu berisi selimut tebal yang berbulu lembut. Tauke mengambil warna ungu yang masih dalam balutan plastik, belum pernah dipakai. Tauke membawa selimut itu ke dalam kamarnya lalu ia beri minyak wangian yang sedap dicium baunya. Tauke pun kembali ke ruang tamu dan menyelimuti Dokter Nadia.
Setelah ia selimuti, ia mengambil teh buatannya yang tadi ia hidangkan untuk Dokter Nadia. Tauke duduk di teras depan, ia pun meminum teh perasaannya. Begitu ia menyentuhkan lidahnya ke dalam air tehnya, gelas itu terjatuh dan pecah berkeping-keping. Tauke terkejut bukan buatan. Kedua anak buahnya menyaksikan dengan saksama, menajamkan padangan ke arah Tauke.
"Ada apa, Tauke?" Anak buahnya penasaran.
"Botak telah menyihir gula jadi garam!" sahut Tauke tanpa pikir panjang. Tauke bersyukur teh buatannya tidak diminum Dokter Nadia. Kalau saja Dokter Nadia meminumnya, bukan main malunya dirinya jika dikatakan lidah lembu. Ingin rasanya Tauke ke kamar Botak dan membangunkan botak dengan tendangan penalti. Namun ia perlu tabayun alias mencari kebenaran terlebih dahulu.
Tauke tidak ingin langsung menyalahkan Botak. Tauke bergegas ke dapur. Ia mengambil toples yang berisi seperti gula tadi. Ia rasakan dan rasanya memang rasa garam dan itu memang asli garam, bukan garam hasil sihir. Lalu ia mencari toples lain yang juga isinya warna putih yang ukurannya juga sama persis seperti ukuran toples garam.
Lima menit mencari-cari akhirnya Tauke menemukan toples yang berisi gula itu di dalam kulkas. Toples itu berdiri manis di rak kulkas nomor dua dari bawah. Tauke menemukannya karena ia sudah merasa haus, keringatnya bercucuran saat mencari-cari karena disertai dengan amarah yang meletup-letup.
Toples itu berbicara dengan tulisan kecil yang Botak tempelkan dengan isolasi ban: "Agar tidak dikerumuni keluarga semut!" begitu Botak menuliskan kalimat pendek itu. Karena Botak tau bahwa pasti ada orang yang mengatakannya gila menaruh gula di dalam kulkas. Toples itu memang sering dikerumuni semut karena Botak tidak menutupnya rapat, kadang ia biarkan terbuka begitu saja. Kalau lah Botak tidak menuliskan kata tersebut, sudah barang pasti ia kena tendangan penalti dari Tauke.
Tauke kembali berjaga dan berdiri di bibir pintu. Tauke tidak tega meniggalkan Dokter Nadia tertidur sendirian di atas sofa tanpa ada yang menjaganya. Kalau saja pintu itu boleh dikunci dari dalam, maka Tauke akan bergegas ke kamarnya lalu melanjutkan mimpinya. Tapi Tauke tak mampu melakukan hali itu. Ia memilih duduk di depan pintu di atas kursi dan ia pun tertidur memeluk bantal gulingnya.
Dua jam kemudian, azan subuh dikumandangkan oleh anak buah Tauke yang punya suara merdu dari masjid markas sawit Takkan Aku Ulangi Lagi. Firman langsung terbangun ketika azan itu dikumandangkan. Dokter Nadia masih pulas. Marwa masih dibalut selimut seperti kepompong. Firman keluar dari dalam kamar dan menuju kamar mandi.
Ketika ia melewati ruang tamu, ia kaget sekali ketika ia melihat yang berbaring di atas sofa itu adalah Dokter Nadia yang tidur mengenakan selimut berwarna ungu dan jilbab merah. Firman tidak jadi ke kamar mandi. Firman malah balik ke kamarnya dan membangunkan Marwa.
Setelah Marwa bangun. Tanpa cuci muka, Firman segera menyurh Marwa berkemas. Marwa tak banyak tanya lalu ia pun bergegas seperti bergegasnya Firman. Hanya lima menit, Firman dan Marwa sudah siap pergi meninggalkan rumah Tauke. Firman membangunkan Botak dan menyampaikan pesan pada Botak sekaligus pamit pada Tauke melalui Botak.
Botak yang masih mengantuk hanya bisa mengangguk mafhum ketika Firman menyampaikan kata maafnya bahwa ia tidak bisa pamit langsung ke Tauke. Firman keluar dari pintu depan dan berjalan tepat di samping Tauke tidur di atas kursi. Karena sudah jumpa dengan Tauke, Firman pun pamit.
"Tauke kami pamit!" ucap Firman dengan suara yang sedikit bergetar. Tauke hanya membalas dengan suara mengorok. Firman mengartikan bahwa suara ngorok itu adalah tanda setuju.
Firman dan Marwa bergegas menuju mobil dan mereka pun meninggalkan markas sawit Takkan Aku Ulangi Lagi.
Tak lama perjalanan, Firman dan Marwa tiba di rumah makan Dua Bambu. Firman dan Marwa shalat berjamaah di mushalla kecil yang ada di sebelah kanan milik rumah makan itu.
Anak buah Tauke yang jaga malam pun membangunkan teman-teman yang masih tertidur. Salah satu dari mereka menelepon Botak. Dari dalam kamarnya Botak menyahut.
"Ya, aku akan membangunkan Tauke di kamarnya!"