Post Power Syindrome, gejala inilah yang menghantui Ratna. Akhir-akhir ini sikap Retno terhadap dirinya semakin dingin. Retno Lebih sering memegang dan menatap handphone miliknya daripada memeluk dan memperhatikan Ratna.
Sebelumnya makan saling menyuapi namun kini Retno malah makan sendiri. Retno jarang di rumah. Ketika Ratna minta ikut, Retno melarang dan memberikan alasan yang dapat diterima oleh akal sehat Ratna, seperti ikut kajian, pelatihan guru bahasa arab dan sebagainya. Ratna merasa cinta dan sayang Retno yang sekarang sudah tak seperti dulu lagi.
Perasaan cinta sejati suami istri yang romantis ini tak seindah dan seromantis dulu lagi. Hal ini pun sering dialami oleh pasangan lainnya, dan mereka mengistilahkan hal ini dengan sebutan: post power syindrome!
Hari sudah pukul tujuh malam. Retno belum juga kembali ke rumah. Lama Ratna menunggu di dalam rumah, ia gelisah bagaikan semut mencari nafkah. Duduk di ruang tamu menyalakan tv, tetap saja ia gelisah. Ratna tidak bisa tenang.
Ratna menunggu di meja makan, ia menatap hidangan yang sudah ia sediakan, namun sampai jam sembilan malam hidangan itu masih utuh, sudah dingin sedingin sikap Retno. Ratna mendekat ke pintu depan, ia melihat ke luar dari jendela tapi Retno tak kunjung pulang.
Berkali-kali ditelepon tapi tidak aktif. Pukul dua belas kurang seperempat menit, Retno kembali dan memarkirkan mobilnya di garasi. Ia meraba kunci rumah yang ada di dalam kantong jasnya, ia pun mendekat ke pintu lalu membukakan pintu. Retno menemukan Ratna sedang tertidur di atas sofa. Retno tidak membangunkan Ratna, ia malah masuk kamar lalu tidur di kamar.
Menjelang subuh, Ratna terbangun dan ia menuju ke kamar. Ratna menemukan suaminya telah kembali dan sedang terbaring di kamar, lalu ia pun membangunkan suaminya. Retno tak mau bangun, ia malah melanjutkan tidurnya.
Ratna shalat subuh sendiri di dalam kamar sebelah dan selesai shalat ia bangunkan kembali Retno tapi Retno tidak bangun juga. Ratna pun kemudian mengaji dengan suara agak keras di ruang tamu dan suaranya terdengar jelas di telinga Retno. Retno bangun dan malah menutup pintu kamar agar ia tidak mendengar suara istrinya mengaji.
Retno lupa diri bahwa ia sedang melanggar kewajibannya sebagai suami, seharusnya dirinya yang membangunkan istrinya subuh dan membimbing mengaji.
Ratna adalah orang yang tidak betah atas sikap Retno yang dingin bagaikan embun pagi yang sepi. Ratna tidak sanggup menahankan silent famili, kelurga yang diam saling menyendiri. Retno menatap handphone miliknya di ruang tamu dan Ratna juga menatap handphonenya di ruang tamu sambil nonton tv. Tidak saling bicara, benar-benar suami istri-silent famili.
Lama-lama Ratna tidak betah, ia pun mengadu ke Najwa Detektif. Tapi Najwa Detektif tidak mau membukakan pintu. Ratna yakin Najwa Detektif akan mampu memecahkan masalah misterius yang sekarang Ratna rasakan. Misteriusnya Retno yang tanpa jelas sebabnya ia bersikap dingin pada Ratna.
Sampai di rumah Najwa Detektif, Ratna mendekat minta tolong dari depan pintu kamar Najwa Detektif tapi pintu kamar itu tak pernah dibuka. Pikir punya pikir, Ratna mengingat Ghazi. Ya hanya Ghazi lah salah satu cara Ratna untuk memecahkan misteriusnya tingkah Retno suaminya. Tapi Ratna sendiri tidak tahu bagaimana ia bisa menemukan Ghazi dan membawa Ghazi ke Najwa Detektif? Satu-satunya cara Ratna adalah menemui sepupunya Syilla yang dulu juga menemukan Marwa pertama kalinya.
Siang harinya Ratna pergi ke rumah Syilla. Sampai di depan rumah Syilla, Ratna pun turun dari angkot dan mengetuk pintu.
"Syilla ada, Tante?"
"Ada di kamar atas. Silakan masuk." Ratna pun masuk dan naik ke lantai dua, menuju kamar Syilla. Pintu kamar Syiila terbuka lebar, Ratna masuk dan Syilla sedang menonton film animasi di laptopnya.
"Ada apa kak, Ratna buru-buru?"
"Kakak minta bantuanmu."
"Bantuan apa?"
"Kamu kenal Ghazi kan?"
"Kenal, dia kan teman kak, Ratna juga. Dulu waktu kak Ratna pulang dari kampung Kekucakeme dia juga hadir di rumah kak Marwa. Syilla kenal, Kak."
"Baguslah kalau begitu. Nah sekarang kamu mau bantu kakak tidak?"
"Bantu ngapain?"
"Bantu nemani kakak nyari alamat Ghazi bekerja. Sudah lebih dua bulan ia tidak ada kabar. Najwa sudah hampir gila menunggu kedatangannya. Mau ya?"
"Owh begitu. Baik Kak. Mau!"
Siang itu juga Syilla pamit pada ibunya dan ikut dengan Ratna. Syilla membawa mobilnya dan Ratna ikut menumpang sampai urusannya selesai. Yang pertama kali mereka datangi adalah rumah Ghazi dan menemui ibunya Ghazi.
Ratna membeli oleh-oleh buah-buahan sebanyak mungkin. Hampir seperti ketika Tauke membawakan makanan waktu ia menjenguk Firman sedang sakit di Kampung Arab. Ratna singgah di pasar dan membeli buah-buahan.
Semuanya ia belikan satu kilo gram. Ratna membeli apel satu kilo, anggur satu kilo, salak satu kilo dan jeruk satu kilo. Kemudian ia belikan minuman air putih yang berupa botol satu kardus. Lalau mereka pun melanjutkan perjalanan ke rumah Ghazi.
Sampai di depan rumah Ghazi, mereka sedang melihat ibunya Ghazi menyapu teras depan rumah. Ratna dan Syilla disambut hangat oleh ibunya Ghazi dan mereka pun dipersilakan masuk. Seteleh menyerahkan buah-buahan itu pada ibunya Ghazi, Ratna sudah tak sabar ingin segera menyampaikan maksudnya. Persaannya sedang dikecewakan suaminya. Tidak pernahnya suaminya berlaku begitu padanya.
"Buk, kami kemari ingin minta alamat Ghazi bekerja, Buk. Penting... Sekali!" Agak panjang Ratna mengatakan di kata penting.
"Maaf, Nak. Ibu sudah berjanji pada Ghazi tidak akan memberitahu alamatnya."
"Tolonglah, Buk. Ini ada urusannya juga dengan keharmonisan rumah tangga saya, Buk."
"Ada apa dengan rumah tanggamu, Nak?"
"Suami saya akhir-akhir ini berubah. Tidak mau ngomong dengan saya. Dia hanya asik main handphonenya. Sikapnya amat dingin pada saya, Buk."
"Tapi maaf, Nak. Ibuk tidak bisa memberitahu kamu alamatnya. Sekali lagi maafkan, Ibuk, Nak."
Karena ibunya Ghazai tidak mempan juga dibujuk dengan bertamu dan membawa oleh-oleh, Ratna pun memutuskan untuk pamit. Ibu Ghazi mengantarkan mereka sampai ke mobil. Dari depan rumah di halaman itu, ibu Ghazi melambaikan salam pada Ratna dan Syilla. Ratna berlinang air matanya. Sudah agak jauh dari rumah Ghazi, Syilla menghentikan mobilnya.
"Sekarang kita ke mana, Kak?"
"Bentar, Kakak nunggu inbox dari suami kakak dulu. Kalau dia tidak ng-inbox Kakak berarti dia memang tidak mencari Kakak. Kalau dia tidak ng-inbox, Kakak tidak mau pulang dan kita melanjutkan mencari Ghazi. Kalau suami Kakak tidak mau ng-inbox Kakak, berarti ia memang lupa pada Kakak, Syilla."