Kana

Halimah tusakdiah
Chapter #1

SEPATU LUSUH MENGANTAR MIMPI #1

Langkah kaki itu terlihat lunglai tak bertenaga. Ditemani sepatu lusuh yang sudah robek dibeberapa sudut, menahan lapar sepanjang hari membuat gadis SMA itu terduduk di pinggir trotoar melepas penat. Panas semakin terik membuat wajahnya basah oleh keringat.

Gadis itu merogoh koceknya. Hanya ada dua uang logam lima ratus rupiah yang dapat ia keluarkan. Yang pasti itu tidak cukup untuk ongkos angkot agar bisa pulang ke rumahnya. tak ada cara lain selain berjalan kerumahnya yang masih berjarak sekitar lima kilo meter lagi dari posisinya sekarang. Sementara tubuhnya terasa sudah sangat lelah, karena hingga ditempat duduknya saat ini dia sudah berjalan sejauh dua setengah kilo meter.

Rasa hauspun sudah mulai mendera namun tak dihiraukannya. Satu tujuan yang harus dicapainya yaitu sampai dirumah dengan selamat. Matahari seakan mencibir. Aspal yang diinjakpun mengeluarkan panas tak bersahabat. Tekat bulat mengantarkan gadis berseragam putih abu-abu dengan kerudung yang sudah tak beraturan itu sampai dihalaman rumah kayu yang terlihat sudah cukup tua. Adik laki-lakinya yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, sedang duduk dengan wajah ditekuk di pinggir tangga kayu pintu masuk rumahnya.

Gadis muda itu menghela nafas lega karna perjuangannya segera berakhir. setidaknya secangkir air putih bisa menjadi hadiah dari perjuangan yang sudah dia lakukan. Melihat ekspresi wajah adiknya yang kusut dengan mata sembab, sisa air matanya masih membekas dipipi anak laki-laki itu. Gadis itu menghela nafasnya dan mengambil kesimpulan. “Pasti tidak ada lagi makanan dirumah.” Gumamnya.

Bibir yang sudah kering dan pucat itu berusaha keras menyunggingkan senyum. ia berjalan kearah adiknya yang masih terisak. “Kenapa? Sudah makan?” Tanyanya sambil mengusap kepala adiknya.

Dengan perasaan yang masih kesal menahan lapar. Anak laki-laki itu manjauhkan kepalanya dari tangan kakaknya. Gadis itu duduk disamping adiknya yang langsung memunggunginya. Gadis itu kembali merogoh koceknya mengeluarkan dua keping uang logam yang tadi tak jadi dipakainya. “Sepertinya kalau siang ini kita makan mie goreng atau mi rebus enak nih.” Matanya melirik adiknya dan menunggu reaksi.

“Uni masih punya uang?” Anak lelaki itu membalikkan badannya dan senyum mengembang dari bibirnya yang terlihat kumal.

“Iya masih, tolong beli mie ke warung ya, nanti biar uni yang masak.” katanya mengusap kepala adiknya. Sekarang dibiarkan saja oleh anak lelaki itu. Tak sabar ingin segera menyantap mie instan, anak laki-laki itupun kemudian berlari sangat kencang menuju warung sembako.

Setelah adiknya hilang dari pandangan, gadis itu memaksakan kakinya yang sudah bergetar untuk berdiri dan berjalan kedalam rumahnya. Menuangkan air putih kedalam gelas yang sudah ada dimeja makan. Tangannya yang bergetar membuat jilbabnya basah karna tumpahan air.

Tak lama adik lelakinya datang dan berhenti tepat disampingnya. Dengan nafas terengah-engah, anak laki-laki itu mengulurkan sebungkus mie instan sesuai dengan uang yang mereka miliki. Seribu rupiah.

Gadis itu meletakkan tasnya di sudut ruangan. Tak terlihat banyak perabotan dalam rumah kayu itu. Hanya ada satu buah meja makan tua dan empat buah kursi kayu yang sama tuanya dengan meja makannya. Lantai kayu selalu mengeluarkan bunyi saat seseorang berjalan diatasnya. Namun sudah menjadi hal yang biasa bagi penghuni rumah itu. Tak ada sofa ataupun tempat tidur. Hanya ada dua batang kasur kapas yang selalu digulung dan diletakkan disudut ruangan jika tidak sedang digunakan. Lemari tua dan sudah tak bisa dikunci lagi karna engselnya sudah rusak. Lemari tua itu disandarkan rapat ke diding. Rumah kayu itu tidak cukup luas untuk menampung banyak perabotan. Tak ada kamar tidur. Rumah kayu itu hanya memiliki satu ruangan yang difungsikan menjadi ruang makan, ruang keluarga, dan kamar tidur untuk seluruh anggota keluarga. Untuk sumur dan dapur terletak dibagian luar belakang rumah kayu itu.

Gadis itu berjalan menuju sumur yang hanya ditutupi terpal disekelilingnya untuk mengganti pakaiannya. kemudian bergegas memasak mie dimana ada dua buah tungku untuk memasak dengan kayu bakar disamping sumur, agar cukup untuk berdua gadis itu menambahkan air yang melebihi takarannya kemudian menambahkan sedikit garam agar tidak terlalu hambar. tak lama mie ala kadarnya siap disantap.

Mata kedua kakak beradik itu berbinar memandang mie instan ala kadarnya yang bisa mereka makan dengan nasi. Menguras rasa iba setiap mata yang memandangnya. Betapa tak bersyukurnya kita yang masih bisa menikmati ayam dan ikan namun masih dibumbui keluhan.

Anak lelaki itu makan sangat lahap. Dia menyisakan sebagian mie untuk kakaknya. Sementara kakaknya hanya mengambil kuahnya saja dan menyisakan mie yang disisihkan adiknya.

“Kenapa tidak dimakan ni? Uni ngga suka?” Tanya adiknya dengan tatapan polos.

“Suka, tapi itu untuk ibu dan ayah, kalau mereka pulang dari sawah, kasian tidak ada yang dimakan.” Senyum mengembang dari bibir gadis muda itu. Adiknya hanya menganguk dan melanjutkan makannya.

Hari sudah menunjukkan pukul tiga sore saat mereka selesai makan. gadis itu mencuci piring kemudian berjalan kebelakang rumah. mungkin masih ada daun singkong muda yang bisa di olahnya untuk makan malam mereka “kasian jika ayah dan ibu pulang dari sawah tak ada makanan yang bisa dimakan.” gumamnya sembari tetap berjalan menelusuri kebun singkong yang tidak seberapa.

Matahari mulai menyembunyikan cahayanya. Adzan magrib pun sudah dikumandangkan, saat itu terdengar suara perempuan melengking dari balik ladang singkong.“Kanaaaaa…..” Suara itu terdengar semakin dekat.

Lihat selengkapnya