Tidak seperti Kana. Kanta memiliki kepribadian yang pendiam. Tidak banyak teman yang dimilikinya. Satu-satunya persamaan Kanta dengan kakaknya Kana adalah sama-sama tidak mau buang-buang uang. Meskipun abak dan amaknya memberi uang untuk ongkos angkot. Kanta memilih untuk jalan kaki. Meskipun jarak dari rumah kesekolahnya tidak sejauh jarak dari rumah ke sekolah Kana.
Kana dan Kanta tahu bahwa tidak setiap hari mereka bisa mendapatkan uang untuk ongkos angkot kesekolah. lebih sering mereka pergi kesekolah tanpa uang sepersen pun bahkan dalam keadaan perut kosong, namun tak ada halangan yang mampu menghancurkan tekad atau pun semangat mereka untuk belajar.
Setiap hari mereka membaca ayat suci Al-Qur’an dan satu ayat yang menjadi kekuatan mereka untuk selalu berjuang. Di sana di sebutkan bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika bukan kaum itu sendiri yang merubahnya.
Tidak ada rencana kakak beradik itu untuk tetap menjalani hidup melata seperti yang mereka alami saat ini. meskipun rumput tak sama hijau, tinggi tak sama rata, cita-cita tak berbeda, tidak ada cerita kalah jika leher belum terbelah.
Kanta sedang sibuk menggores-gores bukunya dengan pensil. Jodi teman sekelasnya menepuk kepalanya dari belakang “Banci, ngapain diem dikalas terus kaya cewek, main sama yang laki dong.” Lidah Jodi menjulur dan matanya yang seperti kelereng seakan ingin melompat kemata Kanta.
Kanta sangat marah. Mukanya seperti buah apel menutupi wajah kumalnya. Tangannya mengepal tangan dengan kuat dan bergetar, pensil yang sudah tinggal sepanjang telunjuk miliknya pun patah. Sorot matanya tajam seperti ingin menerkam makhluk menyebalkan didepanya.
Kanta langsung bangun dari tempat duduknya. Bersiap melayangkan kepalan tangannya ke wajah hitam dekil menyebalkan itu. Namun tiba-tiba wajah lelah pucat pasi amak dan abak yang keluar dari balik gelapnya kebun singkong belakang rumahnya dengan karung dimasing-masing kepala mereka menghalangi niat Kanta untuk meremukkan wajah kumal Jodi.
Kanta kembali duduk dibangkunya dan berusaha meredam kemarahannya. Kanta kembali menggores-gores bukunya dengan gambar yang sangat penuh dengan goresan tapi sudah membentuk rumah gedung yang besar dengan pensilnya yang sekarang semakin pendek.
Disisi lain Kana yang sedang asik menikmati waktu istirahatnya diperpustakaan sekolah. Mempelajari banyak soal-soal kelas 3. meskipun saat ini dia baru berada dikelas 2 tapi tak terlalu sulit bagi Kana untuk menyelesaikan soal-soal tersebut. Perpustakaan adalah tempat yang paling tepat untuknya. Jika ia tak punya uang untuk mengisi perutnya dengan jajanan sekolah, setidaknya Kana bisa mengisi otaknya dengan ilmu.
Rani teman sebangku Kana datang menghampiri dengan sebuah plastik yang berisi dua buah pisang rebus. “Aku tau kau pasti ada disini. Isilah bensinmu terlebih dahulu sebelum kau berjalan menerjang panas sepulang sekolah nanti. Ibuku merebus pisang tadi pagi, aku sengaja membawanya kesekolah agar bisa menikmatinya dengan mu.” Rani membuka bungkusan plastik bekas bungkusan gula yang diikat dengan karet.
“Makan lah Ran. Nanti kau tidak kenyang. Aku tidak apa-apa sudah biasa. tubuhku sudah bersahabat dengan keadaan. ” Kana tersenyum dengan penuh terima kasih pada Rani”.
“Jika kau tidak ambil. Maka kau tidak menganggapku teman mu” Rani membagi dua pisang yang dia bawa.
Kana sangat senang menerima pisang rebus dari Rani. “Terima kasih Ran, tapi apa boleh ku makan dirumah? Agar adik ku juga bisa merasakan pisang rebus ibu mu” kana menatap Rani dengan senyum.
Rani tertegun sejenak namun akhirnya mengangguk. “Tidak apa-apa. Tapi kau harus bawa 2 buah pisang ini. Aku juga akan makan dirumah saja. Rani memasukkan pisang rebus kembali kedalam plastik dan memberikannya kepada Kana.
***
Abak duduk di pondok sawah yang sudah hampir rubuh. Pondok itu hanya disangga empat batang kayu balok beralaskan tanah ditutupi atap daun kelapa yang dianyam lurus dan rapi. Amak bersandar di salah satu tiang pondok itu menatap dalam-dalam wajah suaminya.
“Kenapa kau menatap ku begitu? Katakanlah jika ada yang ingin kau katakan” Abak yang dari tadi menyadari tatapan lekat istrinya mencoba memecah keheningan.
Amak mengalihkan pendangannya. Sejenak menggigit bibir keringnya. Ada guratan kesedihan dimata sayunya yang sudah dihiasi kerutan menua. “Tidak kah kau merasa ini terlalu sulit? Kita tidak mampu memberikan kehidupan yang baik untuk anak-anak. Tidak jarang mereka harus puasa sepanjang hari dan berjalan kaki ketika pergi dan pulang sekolah” Bu Tini menundukkan wajahnya dan menahan airmatanya keluar.
“Apa kau sedang mengeluh?” Abak menatap istrinya dan berkata lembut.