Matahari baru saja muncul dari celah bukit, menyinari lembah kecil di kaki gunung Tambolo dengan cahayanya yang lembut dan malu-malu. Udara masih dingin kabut masih menggantung diantara batang-batang pisang dan pohon cengkeh yang basah. Desa Kanatoa Tambolo belum sepenuhnya terjaga, tapi suara ayam jantan dan denting lesung kayu sudah mulai terdengar bersahut-sahutan dari rumah ke rumah.
Di rumah panggung milik Darwis, seorang gadis kecil duduk di tangga kayu dengan kaki menggantung, mengenakan kain batik lusuh yang terlalu besar untuk tubuhnya. Namanya Kanaya usianya baru dua belas tahun usia yang seharusnya sibuk bermain dengan lumpur dan daun jambu, bukan menjahit nama suami dalam doa-doa yang tak ia pahami.
Pagi itu Kanaya menatap pekarangan rumah tanpa suara. Disampingnya, seekor ayam jago mematuk biji jagung yang berceceran. Ia tidak peduli ia bahkan tak sadar kalau ayam itu sedang merebut satu-satunya hiburan yang biasa ia lemparkan untuk Kiraya, adik kecilnya yang masih digendong ibunya. Tapi pagi ini, semua terasa berbeda. Ada sesuatu yang berubah dalam udara seperti waktu yang tiba-tiba dipercepat dan ia diminta ikut berlari meski belum mengerti arah.
Dari dalam rumah, suara ibunya terdengar memanggil.
"Na ... ayo masuk dulu, ibu mau kepang rambutmu."
Kanaya menoleh perlahan, ia masuk menyeret kakinya tanpa semangat. Di ruang dalam Salsafira duduk bersila diatas tikar pandan, mengenakan kebaya lusuh dan selendang tua di bahunya. Wajahnya lelah, tapi penuh keteguhan. Dipangkuannya, Kiraya tertidur dengan tangan mungil menggenggam kain ibunya erat-erat.
Salsafira memandangi Kanaya beberapa detik sebelum menarik napas panjang.
"Kamu tahu kenapa hari ini ramai, kan?"
Kanaya hanya mengangguk. Tak ada suara.
Salsafira mulai menyisir rambut anak perempuannya dengan perlahan. Satu helai, dua helai, hingga puluhan helai rambut halus jatuh ke pundak Kanaya.
"Waktu Ibu seusiamu, Ibu juga duduk begini, disisir, didandanin tapi waktu itu, Ibu nggak ngerti kenapa. Sama seperti kamu sekarang."
Kanaya menggigit bibirnya ia tidak ingin menangis, tapi suara ibunya membuat hatinya bergetar.
"Ibu ...." Suaranya kecil, hampir seperti bisikan, "apa Ibu sedih waktu itu?"
Salsafira terdiam hanya tangannya yang terus bergerak, mengikat rambut Kanaya menjadi dua kuncir panjang seperti biasa.
"Ibu sedih. Tapi Ibu lebih sedih sekarang."
Di luar suara anak-anak berlarian mulai terdengar. Aroma ketupat, bakar-bakar, dan bumbu dapur menguar dari rumah tetangga. Desa sedang bersiap menyambut pesta adat yang katanya besar, katanya sakral, katanya ... warisan.
Tapi bagi Salsafira dan Kanaya, hari itu terasa seperti bayangan gelap yang tak bisa dihindari.
"Kamu boleh marah, Na," bisik Salsafira sambil mengikat kunciran terakhir. "Boleh nggak ngerti nanti, satu hari kamu akan tahu. Kamu akan punya suara, kamu akan bisa bilang 'tidak.' Tapi untuk hari ini, maafkan Ibu karena belum bisa melindungimu sepenuhnya."
Kanaya menunduk tak menjawab tapi ia tahu sesuatu telah retak dalam dirinya pagi itu dan keretakan itu takkan sembuh hanya karena pesta adat dan doa-doa panjang yang dibacakan diatas kepala.
Darwis berdiri di depan rumahnya. Lelaki itu mengenakan baju adat warna hitam pekat dengan selempang merah dirinya menatap ke arah lapangan tempat panggung pernikahan mulai dibangun. Beberapa pemuda desa sedang memancang tiang-tiang bambu dan memasang anyaman janur. Wajahnya keras nan teguh. Tapi di balik sorot matanya, ada sesuatu yang ragu. Ia tak berkata apa-apa, hanya sesekali mengangguk kepada tetua adat yang lewat, seolah menyembunyikan apa pun yang sedang menggelora di dadanya.
Ia mencintai Kanaya tapi sebagai anak sulung dari garis utama adat, ia tak bisa menolak keputusan ini. Semua ini bukan tentang cinta ini tentang menjaga warisan.
Tetua adat telah memilih. Dani anak dari keluarga sahabat lama mereka akan menjadi pasangan Kanaya. Keduanya masih belia tapi itu tak mengubah keputusan, dalam adat kematangan bukan ditakar dari usia, tapi dari kesediaan orang tua untuk mengikat janji.
Darwis menarik napas panjang. Wajah Salsafira melintas dibenaknya istrinya tidak bicara padanya semalam, tidak memandangnya hanya menunduk menyusui Kiraya dengan diam yang tajam.
Darwis tahu cinta mereka sedang diuji dan ia juga tahu cinta itu sedang retak sedikit demi sedikit.
Menjelang siang, rumah Darwis mulai dipenuhi keluarga jauh. Para bibi, paman, dan tetua mulai berdatangan membawa dulang, kue-kue, dan ayam kampung dalam wadah besar. Senyum mereka lebar, suara mereka riang.
Tapi Kanaya hanya duduk di pojok ruangan memeluk lututnya menatap lantai. Tak ada yang benar-benar memperhatikan anak itu. Mereka mengira ia hanya malu. Padahal, ia sedang patah dalam diam.
Dan di dalam hatinya, suara kecil mulai tumbuh:
"Nanti, aku akan kembali."
"Aku akan hentikan ini semua."