KANAYA

muh idris majid
Chapter #3

BAB 3 - SISA SUARA DIANTARA RITUS

Pagi itu, sinar matahari jatuh perlahan di sela-sela batang pohon kemiri. Halaman rumah Darwis masih semerbak wangi bunga. Sisa-sisa upacara semalam belum sepenuhnya dibereskan. Janur layu menggantung di tiang-tiang bambu, sementara taplak putih yang melapisi meja suguhan masih setengah terlipat, basah oleh embun dan minyak.

Tapi Kanatoa Tambolo seperti tak ingin terburu-buru meninggalkan perayaan.

Warga kembali berdatangan, kali ini lebih ramai. Tawa terdengar lebih lantang. Seolah pesta yang semula hanya dihadiri karena adat, kini mulai disambut oleh semangat yang tulus. Beberapa keluarga yang sebelumnya bungkam, memilih berjarak, kini perlahan bergabung, membawa kue, buah-buahan, dan cerita.

Seperti ada sesuatu yang berubah. Entah karena keramahan Kanaya selama ini atau karena sunyi di matanya yang tak pernah menuduh siapa pun, membuat mereka malu untuk terlalu diam atau mungkin karena sebagian dari mereka mulai menyadari tidak semua adat harus diwariskan tanpa tanya.

Kanaya berdiri diambang pintu, menatap halaman dari balik bingkai kayu. Rambutnya dikuncir sederhana, wajahnya polos tanpa riasan tapi tetap anggun dengan caranya sendiri. Ia tidak tersenyum, tapi juga tidak terlihat murung seperti anak yang sedang belajar berdiri diantara dua dunia. Satu dunia yang mengikat dan satu lagi yang belum ia temui.

"Kanaya ... ayo ke luar sebentar. Banyak yang mau lihat kamu," ajak seorang bibi dari dalam rumah.

Kanaya mengangguk tapi tak segera bergerak. Ia menarik napas dulu dalam-dalam, seolah udara pagi adalah satu-satunya hal yang bisa ia genggam tanpa syarat.

Di sudut halaman, Dani duduk di bangku panjang bersama tiga anak laki-laki sebayanya. Mereka tertawa kecil, berbagi potongan singkong goreng dan cerita tentang burung gereja yang lepas dari jebakan. Dani tak banyak bicara, tapi ia mendengarkan dengan wajah yang hidup. Sesekali matanya mencari sosok Kanaya di antara kerumunan.

Saat tatapan mereka bertemu, Dani berdiri.

"Ayo ... duduk di sini. Aku geser," katanya, menunjuk ruang kosong di sampingnya.

Kanaya berjalan pelan, duduk tanpa banyak kata. Teman-teman Dani saling pandang, lalu satu per satu pamit, memberi mereka ruang yang samar-samar canggung.

Dani menatap ke depan, kearah sawah yang mulai menguning dikejauhan.

"Kayaknya orang-orang mulai senang, ya?" katanya.

Kanaya mengangguk. "Iya. Tapi aku nggak ngerti kenapa."

"Mungkin karena kamu baik," ujar Dani.

Kanaya melirik, tak percaya.

"Kamu nggak kayak orang lain," lanjut Dani. "Kamu nyapa semua orang. Kamu pernah nolongin anak tetangga yang jatuh dan kamu pernah duduk lama sama nenekku, dengerin dia cerita padahal semua orang udah bosan."

Kanaya tersenyum tipis. Senyum yang sederhana, tapi membuat Dani menunduk cepat, pura-pura sibuk dengan sandal dikakinya.

"Terima kasih," gumam Kanaya.

Hening sesaat tapi bukan hening yang menggigit.

Dani mengambil sesuatu dari balik saku bajunya. Sebuah batu kecil berwarna hijau kebiruan.

"Ini ... batu yang aku temuin dipinggir sungai. Aku simpan dari dulu. Nggak tahu kenapa tapi kayaknya cocok buat kamu."

Kanaya menerimanya, pelan. Matanya menatap batu itu sejenak, lalu menggenggamnya.

"Terima kasih, Dani."

Suara Kanaya masih pelan. Tapi kali ini ada kehangatan yang mulai mengalir di antara keduanya. Hangat yang tidak dipaksakan. Seperti embun yang jatuh di daun pelan, jujur, dan tak membuat luka.

Di dapur, Salsafira sedang mencuci piring. Tangannya sibuk, tapi pikirannya masih tertinggal di halaman. Ia tahu Kanaya dan Dani duduk bersama dan untuk pertama kalinya, tidak ada perasaan yang benar-benar berat di dadanya melihat itu. Tidak bahagia, tapi juga tidak sepenuhnya perih.

Darwis masuk membawa baki kosong. Ia meletakkannya pelan, lalu berdiri diam.

"Kamu lihat Kanaya?" tanyanya.

Salsafira tidak menjawab. Ia hanya mengangguk, matanya tetap tertuju ke air sabun yang mulai dingin.

"Dia ... mulai bicara sama Dani," lanjut Darwis. "Tadi mereka duduk sama-sama. Aku dengar dia ketawa kecil."

Salsafira menghentikan tangannya. Ia menoleh, sorot matanya sayu tapi jernih.

"Kalau kamu ingin menebus semuanya, Darwis jangan dengan mengawasi mereka. Tapi temani mereka tumbuh. Jangan ganggu mereka lagi dengan adat-adatmu."

Lihat selengkapnya