Naya telah mengirimkan pesanan buket bunga kepada pelanggan yang menjenguk seorang pasien di rumah sakit. Ia menghembuskan napas lega, meski akhirnya kiriman satu pesanan bunga yang ia janjikan lewat dari dua menit.
Naya kemudian kembali bergerak. Ia berjalan melewati setiap lorong kamar rumah sakit. Mendadak, langkahnya terpaku ketika ia mendapati seseorang yang tak asing baginya. Mengapa lelaki yang nyaris menabraknya tadi sekarang ada disini–Batin Naya. Semudah itu harapanku terwujud. "A-Aku sudah katakan kalau aku baik-baik saja. Kenapa kamu mengikutiku?" Tergagap Naya memecah keheningan saat lelaki yang sempat menabraknya tadi pagi kini ada mendadak muncul dari salah satu ruangan, tak sengaja memandanginya lalu menghampirinya.
Lelaki itu tertawa mendesis. Tajam sorot matanya mengunci wajah Naya. Bagas. Ya. Lelaki yang kali pertama Naya temui benar-benar sosok yang bukan hanya tampan berkulit putih dengan tubuh nyaris sempurna, namun garis senyumnya juga menghadirkan rasa hangat. "Aku seorang dokter yang dinas disini." Lirihnya.
"A-Apa??"
"Dokter Bagas." Sapa seorang perawat wanita keluar dari salah satu pintu kamar menghampiri Bagas sambil membawakan Scrub Suits untuknya. Memancing, keduanya terlepas dari pandangannya masing-masing. "Pasien tiba-tiba darurat. Ia mengalami sesak napas lalu muntah."
"Siapkan satu kamar ICU untuknya." Jelas Bagas bernada tegas.
"Baik, Dok."
"Umm, Nay..." Sapa Bagas menatap Naya lagi.
Naya yang masih belum percaya bahwa Bagas ternyata seorang dokter yang bertugas di rumah sakit besar ini, ia berusaha untuk tetap memusatkan pikirannya.
"Aku harus menangani pasienku." Lirih Bagas. Sementara, lengannya berhasil mendapati sesuatu dari balik saku celana hitam katunnya–Sebuah kartu nama yang ia berikan kepada Naya. Ya. Seorang gadis yang berhasil membuatnya jatuh hati. "Disini ada nomor WhatsApp-Ku, kalau kamu ada keluhan dari incident tadi, kamu boleh hubungi aku."
Tangan Naya menjeremba kartu nama itu. Bagaskara. "Matahari yang bersinar terang." Naya bersenandika tanpa disadari suaranya jelas terdengar oleh lelaki itu.
Bagas tertawa kecil. "Kamu benar."
"Tidak. Ma-Maksudku..."
"Kenapa? Pernyataanmu memang benar. Ibuku berkata bahwa aku adalah matahari yang bersinar dan akan terus menghangatkan sinarnya."
Naya sesaat bergeming.
"Aku harus segera bertugas. Aku berharap, ponselku saat ini tidak akan lagi merasa sepi."
Naya tertunduk tersipu malu. Menahan mosaik dari rasa yang sama seperti yang Bagas rasakan. Ketika tubuh bidang itu meninggalkannya pergi, ada harapan yang Naya anggap sebuah rindu untuk kembali hadir pada ruang temu.
****
Naya menepikan sepedanya di pelataran toko. Ia beringsut lari ke dalam toko dan menghampiri seorang wanita yang sedang sibuk merangkai bunga. Naya menarik kursi berbahan bambu lalu duduk di hadapan sahabatnya sekaligus pemilik toko tempat ia bekerja itu.
"Al.... Entah mimpi apa aku semalam. Takdir emang selalu beri kejutan yang gak pernah kita tahuuuu...!!" Naya mengangkat tangan ke udara sambil mengekspresikan wajah kegembiraan yang belum pernah lagi sahabatnya itu lihat.
"Ada apa si, Nay...? Bikin penasaran aja. Coba, cerita... cerita!" Tanggap Alisha. Wanita berusia dua puluh delapan tahun itu mulai meletakkan rangkaian bunga mawar di atas meja. Ia menghentikan aktivitasnya dan mulai memposisikan duduknya lebih nyaman seolah siap mendengarkan apa saja yang ingin sahabatnya itu sampaikan.
"Kamu nyuruh aku dateng pagi ternyata bukan sesuatu yang menjadikan aku sebuah kesialan, Al."
Alisha mengkerutkan keningnya.
"Di jalan aku hampir nabrak mobil." Naya menyandarkan punggungnya ke badan kursi. Bulat bola matanya menerawang menatap langit ruang berukuran empat kali enam yang dihiasi akrilik berbagai macam jenis motif bunga. "Pemilik mobil itu namanya Bagaskara. Dia seorang dokter yang bertugas di rumah sakit dari pasien yang tadi aku anter pesanan bunga!”
Alisha mengangguk. "Well, jadi ceritanya ketemu lalu kenalan sama pangeran–"
"Bukan ketemu lagi, tapi dia ngasih ini juga!" Sela Naya sambil memperlihatkan kartu nama Bagas yang ia keluarkan dari balik saku kemejanya. "Dia berharap aku untuk menghubunginya."