KANAYA

essa amalia khairina
Chapter #4

HADIAH MASA LALU

Terdengar, derak kerikil kecil melindasi jalanan. Sebuah mobil masuk ke pelataran toko dan terparkir apik disana. Alisha yang sibuk merangkai bunga pesanannya mendadak menghentikan aktivitasnya dan beranjak dari kursi lalu menyambut seorang pelanggan yang masuk ke dalam toko dengan suara khas lonceng berbunyi dari balik pintu. 

"Selamat datang di Alisha Florist... Mau cari bunga apa? Siapa tahu bisa saya bantu rekomendasikan." Sambut Alisha sembari membungkukan setengah tubuhnya.

"Saya kemari bukan untuk memesan bunga." Jelas lelaki berkemeja birunya itu. "Saya kemari ingin bertemu dengan Kanaya. Apa benar, dia bekerja disini?"

"Betul. Naya kebetulan sedang pergi mengantar pesanan bunga." Jawab Alisha berkerut kening. "Maaf. Apa kamu... Bagaskara?" 

Bagas tersenyum lalu mengangguk.

"Lelaki satu-satunya yang dekat dengan Naya adalah kamu." Sambung Alisha. "Jadi aku mudah untuk menebakmu."

"Boleh kita bicara?" Pinta Bagas. 

Alisha mempersilahkan lelaki yang usianya hampir sama dengan usianya itu untuk duduk di kursi tamu. Sebelum akhirnya mereka saling berbincang, Alisha menghidangkan secangkir teh hangat lengkap dengan kudapan manis terhidang di atas meja. 


****


Belum terlalu siang, gadis itu pulang dengan rasa lelahnya. Seperti biasa, saat hendak menuju kamarnya dan melewati sebuah kamar dengan aroma menyengat bau minuman yang khas, bukanlah sesuatu hal yang mengejutkan bagi Naya. Pria mana lagi yang tengah tidur bersama Ibunya itu? Batinnya pilu. 

Ingin sekali dirinya keluar dari zona ini. Semakin dewasa, Naya semakin menyadari bahwa sesuatu yang ia jalani bukanlah hal yang mudah baginya untuk ia lewati. Sesaat Naya masuk ke dalam kamar, ia mendapati sebuah laci di dalam lemarinya yang terbuka dan barang-barang di dalammya berserakan keluar dan dibuat berantakan. 

Hal itu, membuat Naya bergegas mendekat. Ada sebuah tas kecil berwarna merah muda yang sengaja ia simpan untuk menyimpan uangnya selama ini. Tabungannya hilang–Batin Naya cemas. "Ayah...." Gumamnya curiga. 

Langkahnya bergerak cepat keluar dari kamar. Tanpa disengaja, seorang pria parubaya dengan bola mata yang memerah datang mendekati Naya sambil berjalan selompoyongan. Harja Yasa Wiguna. Biasa di panggil Harja. Semenjak PHK, Harja tak lagi bekerja selama lebih dari sepuluh tahun sampai sekarang ini. Entah bagaimana Harja bisa berubah seratus delapan puluh derajat dari sifat aslinya. Setelah di cap sebagai pengangguran, Harja seringkali keluar rumah dan pulang pagi dengan kondisi mabuk sama seperti sekarang ini...

"Ayah ambil uang Naya?" Tanya Naya. 

"Iyah. Kenapa emangnya?"

Naya menggeleng kesal. Bagaimana tidak, susah payah ia menabung uang sebanyak itu hasil dari dagangannya berjualan es krim untuk dirinya membayar biaya sekolah. "Ayah... Uang Naya dipakai buat apa?" 

Pria setengah abad itu tertawa terbahak-bahak. "Yah buat main judi online, lah." Jelasnya dengan suara lantang.  

"Ya Tuhan, Ayah....! Itu uang buat Naya bayar sekolah." 

"Haha....!! Apa? Sekolah?!" Harja mengelus hidungnya yang tak terasa gatal. "Hey, Naya. Buat apa kamu bersekolah kalau sudah lulus sekolah pun, pekerjaanmu itu gak jauh beda sama Ibu kamu. Wanita jalang!!"

"Ayah..." Geleng Naya getir. "Ayah tega!"

"Tega....? Hey, Nay... Emang seperti itu kan, kenyataannya. Buah jatuh gak jauh dari pohonnya!! Kamu sekarang masih polos. Tapi kalau kamu sudah dewasa nanti, cara pikir kamu itu gak beda jauh dengan Ibu kamu!" 

"Bicara apa, kamu?!" Seorang wanita datang keluar dari kamar menghampiri mereka dan menambah keributan. Sementara, pria asing yang sempat Naya lihat segera pergi keluar rumah tanpa pamit. "Naya harus jadi orang pintar dan berguna." 

Pria itu tertawa terbahak lagi. "Pintar dan berguna meniduri banyak lelaki, maksudnya...?!!" 

"Ayah.... Ibu," Getir Naya. Binar bulat bola mata Naya seolah tak dapat membendung sesuatu yang kemudian pecah menjadi bulir yang merembas di kedua pipinya. "Aku memang anak kalian. Darah daging kalian... Tapi, aku yakini bahwa aku gak mungkin melakukan hal yang sama seperti yang kalian lakukan sekarang!"

"Hey, Nay. Ayah tegasin ke kamu. Hidup itu keras! Gak semua yang kamu harapkan itu tercapai dengan sempurna! Hidup terlalu sayang dijalani dengan ketulusan." Cecar Harja. "Kamu tahu kalau kita terlalu tulus dalam menghadapi sesuatu...? Kamu akan sakit, Nay!"

Naya menggeleng. "Ayah salah!" getirnya. "Ayah sadar apa yang Ayah lakukan ini salah!" 

"AH.... DASAR ANAK GAK TAHU DIRI...!!" Harja melayangkan jemari kokohnya menyentuh keras pipi Naya hingga menyisakan lebam dan sedikit mengeluarkan darah dari sudut bibir kiri Naya. 

Harja yang sadar akan perbuatan itu, segera pergi dari tempatnya. Sementara, Erika yang hanya memperhatikan anaknya dipukul oleh suaminya, hanya bergeming. Kemudian, ia menatap Naya tajam. "Itu akibat kamu gak nurut sama orangtua!" Ucap Erika sesaat sebelum ia pergi meninggalkan Naya yang masih terpaku di tempatnya.

Ya. Naya masih mematung di tempatnya. Disesapinya rasa suwung menikmati tamparan Ayahnya. Dulu, sosok Ayah yang Naya kenal adalah seseorang yang begitu sangat menyayangi Ibu dan anaknya. Begitu hangat dan penuh cinta. Tak hanya Ayah, Ibu pun demikian. Perhatian dan kasih sayang Erika padanya seolah tak ada yang bisa mengalahkannya. Tetapi sekarang, sebuah makian dan pukulan sudah sering Naya terima dan kini seakan menjadi sesuatu hal yang biasa.

"Apa yang membuat kalian berubah seperti ini?" Gumam Naya penuh kegetiran. Ingin rasanya Naya menjerit. Ingin rasanya Naya meninggalkan tempat yang benar-benar membuat ia seolah tak lagi dimilikinya benteng pertahanan diri. Kepada siapa dirinya bernaung, selain Tuhan yang selalu melihat dan memahami segala sesuatu yang ia rasakan. 


****

Lihat selengkapnya