Bagas telah selesai bertugas hari ini. Pemeriksaannya kepada pasien yang baru datang, ia lanjutkan besok karena sudah melewati waktu pemeriksaan. Kemudian, ia mengambil ponselnya dari atas dashboard mobilnya dan mencari kontak Naya lalu menghubungkannya ke sebuah panggilan...
"Halo, Bagas?" Naya menjawab dengan masih sibuk merangkai beberapa kelopak bunga lagi yang harus ia kirimkan segera ke alamat pemesanan.
"Sibuk banget."
Naya memicingkan sebelah alisnya. Ia segera menghentikan aktivitasnya lalu beranjak dan menatap ke arah luar jendela. Lelaki itu sudah nampak berada di sebrang depan sebuah kedai kopi bersama mobilnya sambil melambaikan tangan ke arahnya.
"Ka-Kamu...." Naya tergagap. Keterkejutannya mendapati Bagas yang mungkin sedari tadi sibuk memperhatikannya, adalah sebuah kejutan yang kali pertama dialami Naya. "Maksudku... kamu udah selesai bertugas?"
"Aku sudah selesai tugas hari ini. Aku sengaja datang kemari ingin bertemu denganmu."
"Bagas, tapi aku harus masih–"
"Masih apa?" Alisha tiba-tiba keluar dari salah satu ruangan dan menyela perbincangan. "Pergilah!"
"Al. Tapi pesanan bunga hari ini banyak banget. Mana mungkin kamu bisa kerjakan ini semua sendirian...?"
"Aku bisa anterin kamu ngirim paket bunga hari ini." Celetuk Bagas di sambungan.
"Bagas, tapi...."
Tuuuuut.
Naya menatap Alisha. "Bagas menutup panggilan."
"Terus, apa kata Bagas?" Tanya Alisha merebut kursi dari Naya dan terduduk tepat menghadap Naya.
"Bagas bilang dia mau anterin aku buat kirim pesenan bunga."
Alisha mengangguk dengan gerakan pelan. Matanya menerawang seolah sesuatu tengah dipikirkannya matang-matang. "Ide bagus!" Tambahnya. "Dengan begitu, kamu bisa bekerja sekaligus ng-date, bukan?"
"Al..." Naya tersipu malu. Disisi lain, mungkin apa yang Alisha bicarakan benar. Hal itu akan menjadi momentum kali pertama yang pastinya seru dan berkesan.
"Bagaimana, Nay?" Alisha menatap jendela. "Bagas sedang menyebrang menuju kemari."
Naya membelalakan bola matanya. Wajahnya mulai panik. "Al... Bagaimana penampilanku?"
Alisha tertawa renyah. "Nay ayolah... Sepertinya Bagas hanya mencintai seseorang yang selalu tampil apa adanya."
"Alisha betul." Tanggap Bagas yang cepat sekali datang kemari. Jelas, mengejutkan keduanya. "Karena cinta yang sempurna, adalah ketika dia yang menerima kekurangan pasangannya dan menyayanginya tanpa syarat apapun."
"Bagas..." Naya tersenyum haru.
"Hmmmm so sweet banget. Kamu beruntung banget, Nay." Tambah Alisha dengan nada setengah manja. "Aku jadi iri."
"Al... Aku doain dan aku berharap banget kamu cepet dapetin pangeran impian kamu dan kamu cepet nikah." Ucap Naya. Membuat sahabatnya itu merapalkan kata 'amin' dengan tulus kemudian.
****
Cukup lama mereka mengelilingi daerah yang tak jauh dari toko. Setelah mengirimkan lebih dari lima belas pesanan buket bunga, Bagas sengaja membawa Naya beristirahat di sebuah taman yang tempatnya tak begitu jauh dari pusat kota.
Bagas menghela napas lalu dihembuskannya perlahan sambil menyandarkan tubuh bidangnya ke badan bangku taman. Ia menyapukan pandangannya menatap langit yang diselimuti awan kelabu sambil merasakan angin pertanda hujan menusuk pori-pori kulitnya...
"Hujan akan segera turun, Nay." Ucap Bagas dengan santainya.
Sementara, Naya yang terduduk di samping Bagas mulai beranjak merasa resah ketika apa yang diucapkan kekasihnya itu tepat. Mula-mula, rinai kecil turun ke permukaan. Tak lama membawa bulir yang jatuh membawa kawanannya turun begitu cepat...
"Bagas, kenapa kamu diam saja. Ayo cepat kita lari mencari tempat untuk berteduh...!!" Protes Naya menarik lengan lelaki itu yang kemudian menepisnya lembut. Bagas kemudian sengaja melipat kedua lengannya dibawah dada sambil memposisikan duduknya lebih nyaman. "Bagas, apa yang kamu lakukan?!!" Pekik Naya. "Ayo cepat kita pergi dari sini...!! Nanti kita bisa sakit!!"
Bagas tertawa kecil. Hal itu membuat gadis yang mematung di hadapannya kini nampak kesal. "Kenapa takut hujan?" Tambah Bagas sambil terus memandangi kekasihnya yang sudah basah oleh rintik hujan yang semakin deras. Ia menghela udara, bau petrikor jelas tajam menusuk hidungnya dan hal itu adalah sesuatu yang selalu ia nantikan.
"A-Apa?” Naya mendesis pahit. “Kenapa takut hujan? Pertanyaan konyol macam apa itu?"
"Kalau kamu sakit pun, apa kamu lupa kalau aku ini seorang dokter yang siaga menyembuhkanmu?"
"Tapi kalau kamu sakit, siapa yang merawatmu?"
"Sebaliknya. Kalau aku sakit, kan ada kamu."