Tahun, 2008
[POV Wira]
Bis melaju petang itu setelah menempuh perjalanan selama beberapa jam. Sekelompok siswa baru menyelesaikan wisata belajar dan dalam perjalanan pulang kembali ke sekolah. Suasana hening, hanya sayup-sayup terdengar suara adzan magrib berkumandang di kejauhan, bersusulan dengan deru mesin bis. Saat itu, suasana cukup sepi karena hampir sebagian besar siswa tertidur karena kelelahan begitu pun guru pendamping kami yang terlihat duduk di depan, di antara kursi supir dan siswa sambil terkantuk-kantuk. Aku lelah, namun entah mengapa sulit untuk tertidur. Kurasakan pundak kiriku terasa berat lalu disusul suara dengkuran pelan, Hilman terlelap dengan mulut menganga. Lekas kudorong kepalanya menjauh karena risih. Anak itu memang selalu serampangan namun entah kenapa kami masih berteman baik sejak kelas 2 SD. Kala itu, rasa lelah perlahan mendera diri dan kedua mataku terasa berat. Kucoba untuk beristirahat sejenak namun samar-samar, aku mendengar suara bisikan. Kubuka kembali mata ini lalu terbangun dan menoleh ke sekitar, mencoba mencari-cari asal suara namun nihil. Suasana bus begitu hening karena semua tertidur. Hanya sopir bus yang masih terjaga.
“Berlindung….”
Suara itu kembali terdengar di telingaku namun tetap tak bisa kutemukan asal suara. Kembali kupendarkan pandangan dan disaat bersamaan, sebuah lampu sorot menyorot mataku. Refleks kuangkat tangan untuk menghalau sinar menyilaukan itu yang rupanya berasal dari sebuah truk yang melaju tak stabil. Perasaan tak enak sontak menyergapku dan semua terjadi begitu cepat. Kutarik Hilman hingga kami terjatuh di bawah kursi bis yang sempit itu lalu kemudian terdengar suara dentuman kencang disusul kaca belakang yang pecah.
Aku tak tahu bagaimana detailnya namun bisa kurasakan tubuhku terjepit dan tertimpa barang-barang yang berjatuhan dari bagasi dalam bis. Bis itu terasa terjun bebas ke bawah diiringi suara jeritan para siswa dan guru pendamping kami. Suara dentuman keras lainnya kembali terdengar dan setelahnya semua mendadak hening seketika. Sekujur tubuhku sakit. Bisa kurasakan sebuah cairan hangat mengalir dari area pelipis dan menjalari wajahku. Meski berat, aku coba membuka mataku. Entah ini hanya khayalanku atau bukan, namun samar-samar kulihat sebuah sosok berdiri di dekatku. Tak bisa kulihat wajahnya, namun bisa kudengar suara dan kurasakan kehadiran sosoknya.
“Sudah saya bilang untuk berlindung.” ucap suara berat itu sebelum aku tak lagi merasa sanggup untuk bertahan. Kututup kedua mataku dan semua berubah gelap. Mungkin aku sudah mati.
---
SATU MINGGU KEMUDIAN
[POV Arjun]
CREK! CREK!
“Jadi, apa yang adik-adik ingat tentang kejadian itu?!”
Suara kamera terus menerus terdengar. Silau cahayanya menyorot mata kami. Ibu guru terus berusaha menjawab namun para pencari berita yang rakus itu hanya menginginkan jawaban dari kami, yang kala itu hanya remaja biasa berusia 12 tahun. Tak banyak yang bisa kami ingat, bisa selamat pun sudah sangat bersyukur. Kecelakaan tragis yang terjadi seminggu lalu menewaskan hampir seluruh penumpang, kecuali kami berempat yang tersisa. Aku, lalu ketiga temanku, Wintara atau Wira, Hilman, dan Janu. Seluruh teman sekelas serta wali kelas kami tewas tak bersisa. Bis study tur yang kami tumpangi terjun bebas ke dalam jurang setelah ditabrak dari belakang oleh truk pengangkut bahan material. Saat diinterogasi, sang supir mengaku mengantuk berat dan tengah menjalani proses hukum.
Aku sendiri tak banyak mengingat bagaimana aku dan ketiga temanku bisa selamat. Kala itu, aku duduk sebangku bersama Janu. Di tengah rasa kantuk yang mendera, kulihat Wira berdiri dari kursinya, menoleh ke sana kemari seperti mencari sesuatu. Tak lama kemudian, aku melihat sinar terang menyorot ke arahnya dan ketika aku menoleh, kudengar suara deru klakson dan aku refleks menarik Janu, yang sedang tertidur untuk berlindung di dekat kursi. Lalu kurasakan dorongan yang terus menghimpit tubuhku dan Janu. Kami saling berpegangan erat seiring dorongan kuat serta barang-barang bahkan tubuh yang saling berjatuhan terlempar ke sana kemari. Kurasakan tubuhku dan Janu saling berguling dan bertubrukan seiring bis yang terjun bebas ke bawah sebelum semua mendadak hening.
Seluruh tubuhku sakit. Perih terasa di beberapa bagian tubuh. Kesadaranku perlahan menipis seiring rasa sakit yang semakin menjadi. Kugerakkan kepalaku untuk mencoba melihat apa yang berada di sekitar. Bulu kudukku merinding ketika samar kulihat, area jurang yang gelap itu mendadak ‘ramai’ oleh mereka dalam berbagai wujud yang tidak sedap dipandang mata; wajah hancur dan bersimbah darah serta bagian tubuh yang hilang. Mereka berada di sana menatap sosok-sosok yang berantakan, tersebar di dalam bis yang hancur itu seolah menyambut kami agar bergabung bersama mereka untuk menghuni jurang mengerikan itu.
---
[POV Janu]
Seminggu berikutnya berlalu semenjak para wartawan menyerbu kami demi mendapatkan scoop berita untuk dijadikan headline di media mereka. Dua minggu berlalu semenjak kejadian nahas itu. “Ya sudah, biar dia di sini dulu saja, kalian urus dulu saja sekolahnya yang baru..” Aku bersembunyi di balik pintu, mendengar nenek bicara dengan kedua orang tuaku. Semenjak kejadian itu, mentalku cukup terganggu. Aku kerap kali mendengar suara-suara jeritan teman-temanku, berusaha untuk tetap hidup sebagai potongan memori dalam kecelakaan nahas itu. Jika bukan karena Jun yang menarik dan membangunkanku kala itu, kurasa aku tak akan berada di sini saat ini. Kami berdua berhasil selamat karena terlindungi oleh kursi bis yang terlepas dan menghalangi tubuh kami meski sempat menimpaku dan Jun kala itu. Masih tergambar jelas di dalam ingatanku, suhu dingin jurang maut itu, bau anyir darah dari para siswa yang tewas dengan mengenaskan, berpadu dengan aroma tanah yang lembab. Samar-samar suara-suara aneh–entah itu suara mereka yang sudah lebih dulu menjadi korban atau hanya halusinasiku saja. Tapi aku bisa merasakan bahwa saat itu, Kami tak sendiri di sana.
Semenjak itu, pihak sekolah menawarkanku dan ketiga temanku untuk pindah kelas. Namun kami menolak dan Ayah serta Ibu berencana untuk pindah ke Jakarta karena kebetulan Ayah juga dipindahtugaskan ke sana dari pekerjaannya. Sembari kedua orang tuaku mengurus kepindahan sekolahku ke Jakarta, Aku dititipkan pada nenek yang kala itu tinggal tak jauh dari rumah kami. Aku, Jun, Wira, dan Hilman, kami masih tinggal dalam satu kompleks tempat tinggal yang sama meski berbeda gang.
Aku berlari ke halaman belakang rumah nenek dan berjongkok di sana. Halaman belakang rumah nenek cukup luas. Biasanya nenek suka menanam tanaman buah atau bunga, namun belakangan cuaca sedang tidak cukup baik dan nenek sudah cukup tua untuk mengurus semuanya sendiri meski ada bibi, adik dari ibu yang tinggal di sini dan mengurus nenek. Saat itu perasaanku bercampur aduk. Meski masih trauma namun sesungguhnya aku tak mau pindah dari sini dan berpisah dengan teman-temanku. Iseng kuambil sebuah batang kayu pohon yang sepertinya terjatuh di sana. Sembari membunuh waktu, aku iseng menusuk-nusuk tanah di halaman belakang hingga tak sengaja, batang kayu itu menyentuh sesuatu.
“Huh??” Aku iseng menggali dan sebuah benda berwarna kecoklatan muda muncul di sana.