KANDANG BUBRAH

Snowflakemlet
Chapter #2

#2 Misi "Sederhana"

Januari, 2024 

Janu mengendarai mobilnya melintasi flyover Lawang. Di sampingnya, duduk Wira yang kala itu turut pergi bersamanya, mengunjungi keluarga di Malang. 16 Tahun berlalu semenjak kejadian nahas yang menimpa mereka. Kala itu, mereka masih berusia 12 tahun dan kini Jun, Hilman, Janu, dan Wira sudah berusia 28 tahun. Janu pindah ke Jakarta di tahun 2008 berselang seminggu setelah Ia mengalami kesurupan itu. Lalu berselang satu tahun setelahnya, Wira turut menyusul pindah meski tinggal di area yang berbeda dari Janu. Hilman dan Arjun masih menetap dan bersekolah di Malang hingga tahun 2013 sebelum akhirnya Jun merantau ke Jakarta karena diterima di UI dan Hilman diterima di jurusan Pendidikan Jasmani, di UNJ. Mereka pun bertemu lagi sejak tiga tahun lalu dan memutuskan untuk tinggal bersama di sebuah rumah kontrakan yang mereka sewa berempat selama satu tahun sebelum akhirnya pindah ke rumah milik Janu karena Ayah dari Janu yang memutuskan untuk kembali tinggal dan menikmati masa tuanya di Malang.

Nenek dari Janu wafat saat masa covid outbreak di pertengahan 2020 lalu disusul sang ibu yang pergi di awal tahun 2021. Keluarga mereka sempat melewati masa kelam hingga akhirnya sang Ayah terkoneksi lagi dengan teman lamanya dan mereka pun menikah di akhir tahun 2022. Mereka memutuskan pindah ke Malang karena kebetulan sang adik juga sedang berkuliah di Universitas Brawijaya Malang sementara Janu memilih untuk tetap menetap di Jakarta. 

“Oh? Rumah itu…” gumam Wira ketika melihat bangunan megah yang terbengkalai, di sisi kiri dari arah mobil yang melaju. 

“Gue denger katanya udah dibeli sama pihak pesantren setempat,” balas Janu sambil menyetir. 

“Mau dijadiin pesantren?” 

“Nggak tau. Iya kali.”

“Tapi udah cakep sih emang. Terakhir gue lewat masih keliatan angker banget sekarang udah rapi. Kalo waktu itu Papan Ouija nggak gue bakar, Lo udah ngibrit sampai sini.”

Janu tertawa pelan, “Atau gue udah mati di jalan duluan sebelum sampai sana.” 

“Jadi roh yang ngerasukin elo itu beneran mendiang istrinya yang punya wisma itu ya?” 

“Gue nggak yakin. Tapi memang gue lihat sekelebatan wisma itu–kayak muncul gitu aja di kepala gue. Nama si Ibu Arni itu muncul terus-terusan kayak seseorang neriakin nama dia terus sama disusul suara jeritan-jeritan gitu. Pokoknya penuh dan berisik banget.” 

“Gue denger katanya rumah itu emang dibangun di atas lahan bekas pemakaman jaman kolonial gitu. Dulu pas terakhir lewat situ, dulu banget, rumah itu emang rame banget…even dari jauh pun kedengeran. Tapi udah tenang sekarang. Udah dibersihin sama yang beli lahannya kayaknya.” 

“Tapi gue merasa agak sedikit bersalah.”

“Kenapa emang?” 

“Gue merasa kayak ada kesedihan tersendiri dari sosok arwah itu biarpun aura kemarahannya lebih kuat. Setelah gue gali lebih jauh, Ibu Arni itu korban pembantaian satu keluarga. Dia orang kaya, tapi di satu hari ada penyusup yang masuk dan membantai dia juga anak-anaknya. Kecuali suaminya.” 

“Menurut lo suaminya yang bunuh kah?” ucap Wira. 

“Secara nggak langsung.” balas Janu.

“Secara nggak langsung?”

“Iya. Jun pernah gue kasih tahu video rumah itu sebelum dibangun ulang. Dia ngasih tau bahwa ada sosok besar menyerupai kambing berbadan manusia dengan sepasang mata merah, terlepas dari banyak makhluk lain yang menghuni rumah Bubrah itu. Dan energi si bandot jadi-jadian itu mendominasi rumah itu.” 

“Yeah…bahkan dari jauh pun hawa rumah itu berasa nggak enak banget. Berisik pun…” ucap Wira sambil mengusap telinganya. 

“Lo tau kan itu artinya apa?” 

“Eum…Pesugihan. Suami dari Ibu Arni melakukan pesugihan yang akhirnya menumbalkan seluruh keluarganya. Si suami mungkin udah meninggal juga dan rumah bubrah itu diambil alih sama si makhluk pesugihan itu. Pantes nggak ada yang berani nyentuh sampai akhirnya dibeli pihak pesantren,” ucap Wira panjang lebar.

“Betul.” Balas Janu. 

Terlepas tinggal di era modern dan serba maju, keempat sahabat ini cukup familiar dengan praktik klenik yang ternyata masih menjamur bahkan di masyarakat kota besar. Dengan memanfaatkan kemampuan Indera keenam yang sebagian dari mereka miliki, Jun, Hilman, Janu, dan Wira menyisihkan gaji mereka setiap tahunnya dan membuka sebuah usaha jasa pindah rumah atau pembersihan benda sisa peninggalan orang yang sudah tiada. Usaha itu sudah berjalan selama kurang lebih dua tahun terakhir semenjak mereka pindah ke rumah Janu dan cukup membawa hasil yang menguntungkan. 

Mereka hanya bermodalkan mobil box yang dibeli dari ayah Wira dengan mencicil serta kotak-kotak besar untuk menampung pindahan. Mereka juga menawarkan jasa pengusiran roh jahat secara terselubung, tentunya dengan tambahan biaya yang lebih besar karena mereka mampu berkomunikasi dengan para sosok tak kasat mata tersebut. 

Memang di era modern seperti ini, kepercayaan akan ritual atau makhluk mistis semakin terkikis. Namun tidak juga bisa menampik fakta bahwa makhluk ini hidup berdampingan dengan manusia dan sebagian manusia memiliki sensitivitas kepekaan yang cukup tinggi dibandingkan manusia normal lainnya. 

— 

Sementara itu di Jakarta, Jun dan Hilman sedang duduk bersama di dalam sebuah kafe. “Janu sama Wira udah jalan dari Malang?”

“Udah. Paling besok sampe,” balas Hilman. 

“Mas…Hilman?” 

“Oh?? Mbak Dania?” 

Lihat selengkapnya