“Mang, Indomie soto dong! Dua ya!” ucap Hilman duduk di kursi panjang bersama Wira. Malam itu menunjukkan pukul sembilan. Kali ini, mereka yang bertugas menggali info karena beberapa warga di sana sudah mengenali Janu.
“Lo yakin mereka nggak bakal ngenalin kita kah?” ucap Wira.
“Nanti tinggal bilang aja kita ngekos deket sini,” bisiknya.
“Oh?? Akang bukannya kemarin yang antar Memed ya?” ucap penjual warmindo.
“Ah, itu namanya Kang Memed?” balas Hilman. Wira lekas memakai headphone kedap suara di telinga lalu diam-diam menyalakan recorder di gawai pintarnya. Ia menutup telinganya karena suara-suara tak diinginkan yang mengenalinya. Mereka terasa dekat namun tak juga terlalu dekat mungkin karena keberadaan Adam bersama Hilman sehingga makhluk-makhluk itu tak berani mendekat. Namun Ia bisa mendengar mereka kerap mempertanyakan siapa dirinya.
“Betul Kang! Dia security di kompleks ini. Kemarin kenapa atuh bisa sampai pingsan begitu?”
“Kurang tahu juga saya Kang. Saya baru mau pulang ke kosan sama teman saya ini,” ucap Hilman menunjuk Wira. “Lalu kami lihat ada orang tergeletak di lapangan yang biasa jadi tempat parkir itu–”
“Ah…begitu…”
“Apa…mungkin Kang Memed ada penyakit?”
“Dia teh dulu memang penyakitan! Makanya kurus kering begitu biarpun sekarang sudah mendingan.”
“Daerah sini seram ya? Maksudnya, sekali lihat saja udah berasa,” ucap Hilman. Wira memilih diam karena Ia bukan tipe orang yang mudah bergaul atau membangun obrolan. Maka dari itu, Ia menyerahkan semuanya pada Hilman.
“Betul. Tapi sebenarnya akar masalahnya teh hanya rumah itu saja,” ucap Mamang Warmindo menunjuk ke arah rumah Dania.
“Apa cuma Kang Memed security di sini?”
“Ada Ujang dan Didin tapi yang berani berjaga di area sini cuma Memed,” ujar Mamang Warmindo.
“Woah…gede dong gajinya ya kalau cuma dia yang berani jaga di sini? Saya aja nggak berani haha!”
“Tapi sebenarnya…” ucap Mamang Warmindo ragu. “Tapi ini saya cerita ke akang saja ya!”
“Oh siap! Mang!”
“Saya, Ujang, sama Didin teh curiga kalau Memed itu ada kongkalikong sama Ibu Lastri, Istri kedua dari pemilik rumah itu.”
“Kongkalikong?”
“Betul. Ya, sekarang Akang bayangkan saja…gaji security komplek itu berapa sih? Kalaupun dapat bonus, saya rasa tidak sampai bisa buka toko besar!”
“Kang Memed punya toko??”
“Eum! Dulu istrinya teh buka warung kecil-kecilan, semacam warung sembako gitu. Hanya dalam dua tahun, Tokonya itu berkembang pesat sekali! Sekarang sudah seperti agen warung gitu!”
“Sudah punya usaha besar tapi masih bekerja jadi security komplek?”
“Itulah Kang…” ucap Mamang warmindo menyajikan pesanan Hilman dan Wira. “Saya, Ujang, Didin, teh pernah bilang sama dia…’ buat apa masih jadi security? Kan usaha kamu sudah kaya, Med!’ Saya bilang begitu ke dia. Tapi dia alasannya kasihan tidak ada yang berani berjaga di daerah situ selain dia jadi dia bertahan. Kata dia Bu Lastri sering kasih dia tip besar di beberapa waktu tertentu seperti awal bulan Juli dan Agustus.”
Hilman dan Wira bertukar pandang. Itu adalah malam-malam suro dimana Ibu Tiri Dania diperkirakan melakukan ritual Puter Rogo dan sepertinya Kang Memed diminta untuk menjaga rumah selama Ia melakukan ritual itu.
“Kang Memed nggak pernah absen berjaga kah?”
“Beberapa bulan sekali dia suka absen. Kata istrinya sih keluar kota untuk pengobatan tradisional gitu karena dia teh suka sakit-sakitan. Tapi memang dua tahun terakhir ini dia kelihatan lebih segar dan kuat gitu sih mungkin karena usahanya berkembang pesat dan dia cukup kaya. Uang teh memang obat dari segalanya ya Kang? Tapi saya teh curiga dia ikut pesugihan…karena memang dia berubah sekali semenjak jadi orang kepercayaan Bu Lastri. Orang-orang sini teh sudah pada curiga sama Bu Lastri tapi cuma Memed yang selalu bela beliau. Dia juga belakangan dekat dengan Pepeng, kuli yang dulu suka merenovasi rumah Bu Lastri, sekarang sering kerja sama Memed juga.”