Dania membuka kedua matanya. “Hngh?” Ia mendapati dirinya berada di dalam kamar yang Ia kenali sebagai salah satu kamar dari keempat pria yang selalu bersamanya belakangan ini. Ia terbangun dan melemaskan sekujur tubuhnya yang terasa pegal, entah apa yang terjadi semalam, tak banyak hal yang bisa diingatnya. Dania turun sejenak dari kasur dan membuka gorden di jendela kamar sebelum kembali duduk di sisi kasur. Matahari pagi menembus sela-sela jendela kamar dan Ia termenung menatap kulitnya yang terpapar hangat sinarnya. Ada sebuah perasaan lega. Meski lelah, namun Dania merasa tubuhnya terasa jauh lebih ringan seolah sepasang batu besar yang menghimpitnya selama ini terangkat sudah.
Clik!
Dania menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka. Arjun muncul dari balik pintu, “Oh? Kamu udah bangun?” ucapnya mengantarkan segelas teh dan bubur Ayam hangat yang Ia beli dari abang bubur yang kebetulan lewat depan apartemen ketika Ia sedang mencari sarapan.
Arjun meletakkan sarapan itu di nakas samping tempat tidur lalu duduk di sisi Dania, “Gimana? Apa yang kamu rasain?”
“Masih agak capek. Tapi rasanya jauh lebih baik dibandingkan semalam. Rasanya ini tidur paling pulas yang pernah aku alamin.”
“Syukurlah,” balas Arjun tersenyum getir. Dania merasa sepertinya Arjun terlihat agak gelisah–seolah ada yang ingin disampaikan pria itu padanya.
“Pasti banyak yang terjadi ya semalem?”
“Eum…ada berita yang harus aku sampaikan juga ke kamu. Aku nggak tahu ini masuknya berita baik atau buruk.”
“Apa?”
“Mang Ujang semalam, pas kita sampai di sini, dia ngabarin Wira kalau Bu Lastri….meninggal.”
“Hah??” Dania begitu terkejut sehingga Ia tak tahu harus bereaksi apa. “M-Mamah meninggal??”
“Iya, sama Mang Pepeng juga. Semalam kita lihat mereka pulang bareng naik mobil kan? Mobil yang dikendarai Mang Pepeng kecelakaan dan masuk ke jurang.” Dania menutup mulut dengan kedua tangannya. “Tante kamu nelponin kamu terus, tapi kita nggak angkat karena nggak enak. Nanti kamu telepon balik dia dan jangan lupa untuk nyelawat ke tempat Bu Lastri. Anak-anak masih tidur, tapi nanti Janu temenin kamu. Dia udah bersih sekarang dan nggak akan kesurupan lagi. Aku nggak bisa dateng ke tempat kayak gitu.”
Dania mengangguk pelan, “Aku paham.”
“Sarapan dulu aja. Aku mau bangunin yang lain,” Arjun pun berpamitan pergi dari kamar Dania. Ia menutup pintu dan menatap Wira,Hilman, dan Janu yang tidur berjejer di ruang tamu apartemen. Semua lengkap, namun tetap ada satu hal yang kurang; sosok Adam sama sekali tak terlihat sejak semalam.
—
Arjun pun menghabiskan paginya yang tenang itu di balkon apartemen. Ia duduk sambil menikmati secangkir teh. Tangannya sibuk menari di atas sebuah buku dengan kertas polos, sedang menggambar sesuatu. “Hoaaahmm~” Arjun menoleh dan mendapati Hilman menghampirinya di balkon. Pria itu baru saja bangun dan kemudian mengisi kursi kosong di dekat Arjun. “Semalem tuh capek banget…tapi kayaknya pagi ini tenang banget…” ucap Hilman melamun. “Itu siapa?”
“Huh? Ini sosok yang sering ngikutin lo selama ini,” ucap Arjun menyerahkan buku sketsa itu pada Hilman. “Ini yang lo bilang Khodam kakek moyang gue itu??”
“Iya.”
“Cakep??”
“Yeah,tapi lo nggak akan ngomong gini kalo udah liat sosok aslinya.”
“Serem ya? Lo udah liat?”
“Udah.”
“Dia ada di deket gue kah?”
Arjun menggeleng pelan, “Dia nggak balik dari semalem. It’s weird.”
Hilman menatap sketsa itu dengan seksama, “Tapi kok mukanya familiar ya?”
“Huh??”
“Bentar deh,” Hilman kembali masuk sejenak lalu kembali dengan membawa handphone. Tangannya sibuk menscrolling sana sini seperti mencari-cari sesuatu, “Oh?? Ini!”