Bau tanah serta dedaunan dari tanaman di pekarangan yang sudah bertahun-tahun tak terurus begitu familiar kurasakan. Sayup-sayup desis dan suara kemarahan terdengar mengelilingi sebelum berangsur-angsur menghilang. Aku tak peduli dengan kemarahan mereka, tempat ini adalah rumahku dan jika memang harus dihancurkan maka hanya pemilik asli rumah yang harus menghancurkannya.
Kubuka mata menatap jalanan kosong di depanku. Aku tak berada di dalam, melainkan di sisi rumah. Dulu tempat ini adalah taman kecil dimana aku biasa bermain dan berkumpul dengan sanak saudaraku hingga satu per satu dari mereka pergi karena Ayah menumbalkan mereka lebih dulu dengan alasan, Ia tak mau mengorbankanku meski aku tetap dikorbankan pada akhirnya.
Aku terlahir dalam sebuah keluarga kaya raya. Ayahku adalah seorang pebisnis yang cukup dengan orang-orang pemerintahan. Aku yang begitu polos kala itu berpikir segala kemudahan yang kuterima adalah hasil kerja keras Ayah. Ayah adalah sosok yang kubanggakan kala itu hingga semakin dewasa, Aku semakin menyadari bahwa Ayah, juga ibuku tidak normal.
Setiap setahun sekali kami pergi ke Wonogiri, ke sebuah pemakaman umum di daerah Tembungboyo. Saat itu aku masih kecil, berusia sekitar 9 tahun dan tak memahami apa yang dilakukan Ayah. Saat itu, kami menunggu di mobil, saat malam hari. Aku ditemani Ibu dan dikejauhan, kulihat Ayah hicara dengan seorang Pemuda yang kuketahui bernama Pepeng dari bagaimana Ayah berkomunikasi dengannya.
Kala itu, Ibu tertidur karena kelelahan menunggu. Aku diam-diam keluar dari dalam mobil untuk melihat apa yang dilakukan Ayah. Pria bernama Pepeng itu kemudian datang membawa seekor sapi. Saat itu juga kulihat Ayah memakai kain putih di sekujur tubuhnya lalu masuk ke dalam tanah.
Panik sempat kurasakan ketika kulihat Pepeng menutup tanah yang tadi dimasuki Ayah. Rasanya aku ingin merangsek maju namun entah kenapa, rasa takut begitu menghinggapiku. Tak lama kemudian, raungan sapi terdengar yang rupanya hewan itu sedang disembelih oleh Pepeng dan akhirnya ambruk. Pepeng terlihat seperti sedang membaca-bacakan mantra lalu tak lama kemudian, Ayahku muncul kembali. Aku cukup lega karena Ia terlihat baik-baik saja.
Setelah beberapa saat, ritual aneh itu pun selesai dan aku diam-diam kembali ke mobil lalu berpura-pura tertidur. Kudengar ayah membuka pintu dan duduk di balik kemudi setir. Aku mengernyitkan dahiku ketika bau tak biasa menguar di dalam mobil tersebut, bau anyir darah yang berasal dari Ayahku.
—