Kandang Monyet

Arif Billah
Chapter #2

#2

*

Seperti biasa, alarm yang kusetel dari hp membangunkanku dengan nada default. Sekarang pukul delapan pagi, cukup waktuku tidur. Tujuh jam, lebih atau kurangnya tak membuat masalah. Setidaknya aku bisa damai untuk beberapa waktu karena tempat tidur tak pernah bertanya soal pencapaianku, tempat tidur tidak pernah menghakimiku, dan tempat tidur adalah satu-satunya yang selalu menunggu kedatanganku, tempat tidur adalah sahabat terbaikku. Kasur tidak pernah berkeloneng seperti dua belas satpam pada dua belas tiang listrik dalam satu perumahan untuk menandakan jam sudah pukul dua belas malam walau mimpiku kadang yang membuat tidak tenang. Dan hari ini Aku mendapat shift S1, yang artinya pukul 12.00 tepat nanti Aku harus sudah berada di cubicleku, membuka semua console di monitor (console ini sejenis aplikasi atau sistem program yang kami gunakan untuk menerima pesan dari customer, membuat laporan keluhan pelanggan, mencari tagihan atau cicilam, bahkan untuk melaporkan masalah pelanggan ke tahap selanjutnya), harus sudah melakukan swafoto di aplikasi presensi kantor dengan menggunakan hp pribadi, dan sudah mendengarkan briefing harian dari Team Leader/TL. Soal perkara istilah-istilah asing ini sepertinya akan aku ceritakan nanti kalau tidak lupa atau kalau tidak disalip oleh pikiranku yang suka ke mana-mana menikung-nikung seperti Valentino Rossi di Moto-Gp.

           Masih ada cukup waktu sebelum berangkat, berarti masih ada waktu juga untuk leha-leha. Leha-leha yang kumaksud di sini bukan berarti Aku hanya akan berbaringan atau rebahan dan menyembelih waktu begitu saja hingga detik-detiknya mengucur ke lantai secara sia-sia. Tidak. Leha-lehaku adalah memasak, makan dengan porsi secukupnya, menyisakan sedikit lauk dan menanak banyak nasi untuk kujadikan bekal di kantor nanti, lalu lanjut lagi membaca buku digital yang masa pinjamnya hanya lima hari. Aku selalu kesal jika ada buku yang belum selesai kubaca tapi periode pinjamnya sudah habis dan aku harus mengantre lama lagi untuk meminjamnya. Makanya segera mungkin aku harus bisa menyelesaikan bacaan entah berapa pun halaman dalam kurun kurang dari lima hari. Bahkan membaca saja aku dikejar target.

           Kali ini Aku ingin memasak tahu cabe garam, sederhana seperti namanya, namun makanan itu jelas enaknya luar biasa (menurutku yang jarang makan masakan warung karena banyak pertimbangan dari awal kuliah hingga sekarang bekerja). Setelah cuci muka Aku berjalan ke seberang kosku menuju kios sayuran yang ajaib. Seberang bukan berarti hanya menyebrang jalan, tapi aku harus berjalan setidaknya lima ratus meter ke arah pasar dengan jalan kaki. Aku tidak jalan kaki untuk mengirit bensin, tapi jalan karena untuk pertimbangan fisik. Pun jalan kaki dengan menutup mulut tak berbicara sama sekali adalah salah satu metode latihan teater yang pernah diajarkan di komunitas oleh seniorku. Mereka mengadaptasi mubeng benteng a’la Kraton Yogyakarta. Kata seniorku juga, W. S. Rendra pernah melakukan metode jalan yang sama dari Bengkel Teater hingga ke Parangtritis, tapi aku tidak tau persisnya karena itu cerita mereka. Menurutku metode ini banyak membantu fisik dan mental. Soal mental, pikiran saat berjalan kaki dalam diam akan membuat indra menjadi terfokus, aku bisa fokus membaca mantra-mantra atau doa atau bahkan menghayal ke mana-mana. Dalam hal fisik, metode jalan kaki ini amat aku butuhkan karena kerjaku duduk berjam-jam di bawah AC, kalau minim gerak bisa-bisa suatu saat aku bangun dengan keadaan menjadi udang. Itu tidak akan seperti Gregor Samsa yang menjadi kecoa. Aku takut menjadi udang karena udang hanya bisa meringkuk saja dan tidak bekerja. Hidup adalah kerugian jika tidak bekerja. Dan omong-omong soal bekerja aku mengira kalau setiap pagi manusia pasti bangun pagi sebagai kepiting. Oke, aku akan mengesampingkan perihal kios sayur ajaib yang tak begitu-begitu ajab banget, aku akan bercerita sedikit soal manusia yang bangun menjadi kepiting.

Lihat selengkapnya