Pukul 11.02 Aku berangkat, ke arah kota, di tengah Jogja. Jalanan di kota benar-benar simulasi neraka, pakai jaket akan terasa begitu gerah dan berkeringat, tidak pakai jaket malah akan lebih parah karena terik langsung menyengat ke kulit hingga rasanya kulit ari retak dan bisa gosong seketika sampai ke muka muka. Apalagi di Jalan Wates, berangkat pagi ke arah timur matahari yang mentereng baru terbit akan menyilaukan penglihatan, pulang dari arah kota ke arah barat matahari tambah congkak bikin mata harus menyipit sampai segaris saja, kalau kata orang-orang, Jalan Wates memiliki slogan tersendiri yaitu: “Mangkat picek, mulih picek”.
Sesampainya di halaman kantor setelah kehabisan keringat dan berwajah merah seperti orang selesai sauna, Aku memarkirkan motor. Mau serapi apapun Aku parkir pasti nanti akan dipindah juga, jadi Aku letakan saja motor sembarangan di tempat kosong. Hitung-hitung para petugas parkirnya biar benar-benar kerja. Di samping anak tangga pintu masuk utama ke dalam gedung sudah ada beberapa seniorku di sana, mereka berada di dekat tempat sampah untuk mereka jadikan asbak raksasa. Padahal ada stress-room tersedia. Ada tiga orang, Wregas, Fuad, Agus. Mereka seniornya senior kalau bisa dibilang, karena mereka adalah batch pertama customer service di project ini. Bukan di outsourcingnya, tapi di project-nya. Kalau Aku, terhitung sebagai batch ke sebelas yang masuk ke project customer service di outsourcing ini.
Sebelumnya mereka bertiga dan ada senior lain sudah menjadi cs di outsourcing lain. Namun perusahaan itu sunset atau gulung tikar karena regulasi dan harus memindahkan pegawai mereka ke perusahaan lain di project yang sama yaitu customer service aplikasi pinjaman online.
Aku sapa mereka dan bergegas ke meja resepsionis untuk menukarkan ID Card dengan kunci loker. Sengaja aku tak bersama mereka dulu berlama-lama di depan pintu utama karena yang pertama aku tidak merokok, kedua aku harus bergegas mempersiapkan banyak hal, dan ketiga aku malas berinteraksi saja. Setelah memasukkan bekal makanan, tas kecil berisi buku tulis dan beberapa bacaan, aku menuju wc sebentar untuk berkaca dan merapikan diri. Kubuka aplikasi presensi di hp dan berswafoto untuk menandai kehadiranku. Berkaca sekali lagi sambil merapikan rambut yang kubelah tengah, Aku siap memasuki floor.
Sekarang pukul 11.33, sudah ada 21 orang di sana. Tiga orang dari support, dua TL, dan enam belas agent di depan komputer dalam cubicle masing-masing. Aku masuk dan menyapa semuanya, suaraku tak menggema karena dilahap berisik ketikan jari di atas keyboard, suara-suara klik mouse, deru ac, dan mulut yang mengoceh sendiri-sendiri akibat kesal pelayani customer berotak monyet atau sambil ngerumpi. Aku mulai mencari cubicle yang kosong, kebetulan ada satu orang senior yang menyarankanku duduk di sebelahnya. Namanya Mas Bambang, walau namanya sangat nusantara banget –begitu pula bentukannya– tapi Dia sangat jago cas cis cus bahasa inggris. Pun skillnya mengetik sangatlah jagoan karena Dia bisa lancar menekan-nekan tombol saat mata dan mulutnya fokus ngobrol dengan sebelah-sebelahnya. Untungnya yang buat mengetik Mas Bambang adalah jari-jari dan bukan capit kepiting. Agak malas, namun membantu orang lain melepas stressnya saat bekerja dengan bicara agaknya membuatku sedikit menjadi manusia seutuhnya yang merupakan bagian warga dunia kalau kata Hierocles.
Aku bertanya pada Mas Bambang perihal shiftnya. Dia berkata kalau tiga hari ke belakang dia mendapat jadwal P1 berurutan. Artinya dia selalu berangkat pagi sebelum jam enam dan pulang saat sudah jam tiga. Enak betul jadwal seperti itu, seperti pegawai kantor umum atau kalau bisa bekerja dari jam tujuh hingga jam dua maka akan seperti PNS saja rasanya. Aku juga ingin jadwal yang seperti itu, berangkat pagi pulang sore. Semua jadi lebih enak dan manusiawi. Shift malam untuk S2 juga sebenarnya manusiawi karena ada bonus sebesar sepuluh ribu. Tapi kalau S1 tidak ada sama sekali. Rugi.