Para agent S2 lain pun mencari cubicle-cubicle yang cocok untuk mereka. Berhubung Mas Bambang sudah selesai shift, Amar menempati cubicle-nya. Sedangkan Fawas, seperti dismash raket Dia langsung meluncur ke cubicle yang dekat dengan cewe-cewe. Gus Gembel dengan malas mencari ruang kosong dekat teman se-batchnya, Asna dan Adinda. Ada satu cubicle kosong dekat dengan Jendral, Dion menuju ke sana sambil ngobrol dulu dengan agent lainnya (entah siapa kurang jelas karena fokusku tentu pada console untuk memastikan mereka sudah masuk jaringan semua dan aku dapat segera set bussy untuk shalat). Lalu dari pintu juga masuk Ayah, TL yang selalu dapat jatah S2 dan sudah bertugas dari batch pertama bersama Fuad, Wregas, Agus, dan Sang Jendral mulai mencari tempat nyaman untuk dia bisa bertahan semalaman. Ada meja kosong namun tidak ada kursi di dekat Rizky. Ayah pun mengambil kursi yang akan diduduki Dionysius. Dion kalah cepat dengan Ayah. Dion pun terpaksa– dengan amat sangat terpaksa– mengambil kursi di antara tempat longgar yang jadi markas SPV, QA, dan Trainer. Pengemong Para Monyet. Atau monyet yang menjadi pengemong. Sama saja.
Karena Ayah terlambat masuk, Owa menghampirinya dari seberang ruangan tempatnya duduk. Entah dia ingin menegur atau mendesis di telinga Ayah. Aku berharap Owa melolong sekencang-kencangnya di telinga Ayah dan membuat banyak orang ngakak karenanya. Bukan menertawakan derita seorang tim leader yang terlambat, tapi menertawakan lolongan panjang Owa di telinga gagang panci. Dion mengambil kursi di antara atasan dan tim support itu, mengangkatnya setinggi kepala agar saat dibawa tidak menyenggol meja atau bahkan menyenggol kepala siapa saja yang ada di depannya. Saat lewat di antar QA dan Trainer, Si Trainer tiba-tiba melemparkan pertanyaan ke seluruh ruangan, “Apa perbedaan dalam membuat tiket pelaporan eskalasi permintaan surat lunas nasabah yang OJK dan tiket pelaporan eskalasi permintaan surat lunas nasabah tidak OJK?”
Tidak masuk akal pertanyaannya itu. Momennya sengaja di buat-buat. Pengen menyaingi petir di dalam pertu gunung berapi. Padahal beberapa waktu lalu sudah ada forum training khusus permasalahan tersebut dan para agent juga telah memahaminya. Dan apakah masih perlu menanyakan hal itu di jadwal orang-orang mengerjakan chatnya. Kalau misal ada yang bingung kan pasti orangnya akan tanya sendiri ke agent lain atau ke tim leadernya atau bisa juga ke Trainer itu kan. Mungkin dia sengaja ingin membuat suatu adegan dan pertanyaan itu adalah pancingannya. Aku belum tau.
Keriuhan dengan diiringi suara ketikan yang saling beradu gema seperti gamelan di nikahan, kami yang berada dalam ruangan menjawab bersamaan, “Jika surat lunas biasa atau bukan OJK maka agent dapat memberikan pedoman di sheet pinjaman, kolom pelunasan, nomor tiga puluh delapan tentang syarat pengajuan surat lunas melalui aplikasi atau melalui email. Dan selanjtunya tiket pelaporan ditutup sepihak oleh agent tier-1 atau agent live chat tanpa perlu dieskalasi ke tier-2. Sedangkan untuk surat lunas dari OJK maka agent tier-1 perlu untuk meminta nomor telepon, email, bukti surat lunas dari aplikasi lalu agent melakukan eskalasi ke tier-2 dengan ketentuan-ketentuan sesuai pedoman.”
“Itu semuanya paham, Mas Dion gimana?”
Sambil meletakkan kursi di depan Trainer karena merasa ditanya lebih lanjut, Dionysius menjawabnya pada saat itu juga, “Saya paham loh, Mbak. Kan barusan saya ikut menjawab.”
“Kemarin ada agent yang masih probation tanya soal itu kok jawabannya beda?”
“Oh, kalau itu memang Asna tanya.” Jawab Dion dengan seketika langsung menunjuk siapa orang yang dimaksud Trainer tadi. “Kemarin kan queueing. Nasabah pada minta kode pembayarn tagihan, Mbak. Jamnya bener-bener padet. Saya juga masih fokus membuatkan tagihan-tagihan. Dan Asna juga tanyanya cuma perihal ‘Cara dapet surat lunas gimana sih mas?’, ya aku jawab pake pedoman surat lunas biasah dong. Intinya sih miskom aja. Kalau memang salah maaf ya. Maaf ya, Asna. Maaf semuanya.” Dion menengok ke seluruh ruangan mencari Asna. Dia menemukan Asna yang berada di sebelah Gus Gembel, “Asna buat yang kemarin sekali lagi maaf ya. Aku kurang fokus.” Dion kembali mengangkat kursinya.
Asna menoleh dan mengangkat tangannya, “Iya mas, nggak apa-apa. Aku aja yang kurang bisa nyusun pertanyaan karena kebingungan.”