Kami keluar dari area kantor, menyebrang Jalan C. Simanjuntak, masuk ke gang-gang kampung di tengah kota Jogja, menuju rumah Si Mbah. Si Mbah itu memang mbah-mbah yang agaknya sudah terbilang langka jika di cari pada tengah kota. Seperti Monyet Hantu di tengah rimba, sulit menemukannya dan orang seumurannya hampir punah belaka. Rumahnya dibuat seperti warung tapi bukan warung makan, warung yang isinya jajan-jajan bocil, tapi di etalasenya, katakanlah malah seperti toko kelontong. Tapi uniknya di balik bentukan rumah yang seperti toko kelontong itu Dia malah jualan makanan rumahan. Ikan goreng, mangut lele, tempe goreng, telur dadar, di display pada lemari kaca. Tempat makannya ya bisa di ruang tamu, di dapur, atau di ruang tengah yang ada tv-nya, atau di ruang makan keluarganya yang Dia sendiri juga sudah tak punya keluarga– tapi Dia punya beberapa rewang. Agak aneh sebenarnya konsep “Rumah Makan Si Mbah”, tapi mangut lelenya enak. Toh murah juga. Namun Aku tak akan membeli nasi serta lauk di rumah Si Mbah, ini karena Aku kan sudah membawa bekal nasi berlauk tahu cabe garam. Aku hanya mengikuti Wregas dan Fuad yang sudah seperti kakak beradik itu. Paling nanti Aku akan membeli es cappucino sachet.
Kalau misalkan waktu itu aku tidak diajak oleh Pak Dwi makan ke tempat ini, mungkin aku tak akan pernah tau jika ada seorang nenek-nenek yang menjual masakan rumahan di rumahnya yang tampilan depan rumah itu seperti warung kelontong tanpa banner atau kursi dan meja makan pada umumnya. Dan agent lain pun mengetahui warung kelontong jadi-jadian ini sebagai tempat makan karena Pak Dwi yang menunjukannya pada mereka. Keklenikan Pak Dwi agaknya berguna pada kala itu. Bisa-bisanya menemukan mangut lele yang dipajang pada etalase kaca. Makanan di sini bisa dibilang murah untuk harganya. Nasi sayur masih dihargai enam ribu. Untuk nasi telur delapan ribu. Nasi mangut lele sepuluh ribu. Lalu lain-lain lagi. Kadang ketika makan di sini kami harus berdesakan dengan orang lain entah dari perushaan yang sama atau bahkan karyawan dari tempat-tempat lain di sekitar kantor. Mau bagaimana lagi, Rumah Makan Si Mbah memang betulan rumah kecil yang ditumpangi orang makan dengan membayar.
Omong-omong soal Wregas dan Fuad. Pada awalnya aku sempat menganggap bahwa Wregas dan Fuad ini kakak beradik belaka. Karena, mereka sama-sama gempal badannya, potongan rambut hampir sama pula, kumis dan jenggot serupa, bahkan warna kulit mereka. Yang membedakan hanya bentuk kepala: Wregas kotak dan Fuad cenderung bulat. Memang, pada awalnya juga Aku tak begitu akrab dengan mereka. Wregas pernah mengataiku sebagai orang yang sok asik saat pertama kali Aku masuk floor dan tandom dengannya untuk training selama dua jam. Bukan karena apa-apa, karena Aku memang mencoba banyak bertanya serta menyahut percakapan agent lain yang sedang bercakapan. Karena aku menganggap bahwa komunikasi verbal dalam menggunakan kata-kata adalah senjata utama manusia untuk bisa saling memahami dan melaksanakan fungsi sesuai dengan yang alam inginkan kan. Dan di hari-hari selanjutnya Aku makin dikatakan sebagai orang yang sok asik karena saat pulang Aku selalu pamit ke semua orang, aku pamit dengan mengucapkan salam, sampai jumpa, atau selamat siang/sore/malam ke pada mereka. Tapi kebiasaanku itu membuat agent lain mengikutinya. Bukankah itu kebiasaan baik pada akhirnya. Sebelum Aku memulai kebiasaan berpamit, mereka hanya sliwar-sliwer pulang-pergi begitu saja. Tak ada sapa menyapa. Namun setelah Aku selalu mengucap salam selama dua minggu secara konsisten, yang lain pun ikut meniru.