Semakin mendekati arah camping ground jalan menjadi semakin sepi. Lebih sepi dari jalur tamiya yang sudah kehilangan trendnya. Sedikit lampu menerangi, tak ada warga di tiap kampung atau perumahan yang kulewati, pohon dan bambu makin rapat memagari jalanan. Yang kutakutkan pun muncul, yaitu hilangnya sinyal gps pada hp-ku. Untung ketakutan itu sudah kucegah sebelum-sebelumnya dengan cara mengunduh maps. Kalau saja tidak kuunduh maps, bisa sulit aku mencari jalan ke tujuanku. Mungkin malu bertanya sesat di jalan, tapi kalau malam begitu siapa yang bisa ditanya. Aku bisa tau kalau sinyal mulai hilang saat musik bergenre surf rock yang kumainkan terhenti di tengah rekaman. Agak kesal memang ketika melanjutkan perjalanan dengan kuping tersumpal earphone tapi tidak ada musiknya. Perkara maps sudah aman, tapi sambil di jalan Aku memikirkan bagaimana nanti di area camping ground jika hpku tetap tak ada sinyal dan tak bisa menghubungi mereka? Di lokasi pun kan tidak langsung berada di titik berkumpulnya mereka mendirikan tenda. Pasti aku hanya akan ditunjukan jalan oleh google maps hanya sampai pintu gerbang saja, untung-untung kalau diarahkan sampai parkiran.
Aku tak kepikiran mengenai jawaban logis apa untuk menangani mati sinyal saat sudah di lokasi nanti. Di sepanjang berkendara sambil memikirkan perihal bagaimana caranya nanti menemukan mereka, aku mulai bersenandung sendiri mengikuti nada-nada musik sebelum aku lupa hingga musik muncul lagi. Untungnya sinyal sudah ada dan kurang dari seratus meter di area gerbang masuk camping ground Wregas menelponku. Aku mengikuti arahannya untuk memarkirkan motor sesuai pada titik maps. Setelah itu Aku berjalan sesuai arahan darinya. Sinyal di atas ternyata lebih baik daripada di jalanan. Kadang keberuntungan seperti ini patut disyukuri.
Aku berjalan menyusuri setapak dengan belukar tinggi. Kebanyakan jalan yang dibuat dengan mencangkul permukaan tanahnya. Kadang ada beberapa batu diletakkan, permukaannya lebar. Jalurnya cukup becek dengan tanah-tanah basah, lalu bebatuannya pun ikutan licin. Tak ada cahaya dan jalannya begitu adanya. Ilalang tinggi juga lama-lama mengikuti langkah hati-hatiku. Tak ada pemukim lain yang mendirikan tenda, Aku sangsi kalau ternyata Aku dikerjai. Namun di kejauhan Aku mendengar riuh orang bercanda. Suaranya sama dengan suara samar di hpku yang sedang ditelepon Wregas. Agak samar Aku mendengar Gus Gembel yang sedang berdebat dengan Pak Dwi perihal hal-hal gaib. Gus Gembel menerangkan soal kegaiban dengan metode ngaji yang pernah dilakoninya selama menjadi santri, sedangkan Pak Dwi bersikukuh dengan pendekatan kejawen untuk menakar kegaiban setiap fenomena. Farhan hanya tertawa kecil kudengar, samar juga Mas Bambang mencoba melatih bahasa inggris Amar. Kecil cahaya unggun mulai tertitik, ada beberapa kunang-kunagn menemani jalanku. Momen ini seperti ada sambutan dari alam yang kuhadiri. Ternyata sudi juga mereka menemaniku berjalan di setapak sepi dan belukar tinggi. Terimakasih kuku mayit.
Namun perlahan para kunang-kunang pergi meninggalkanku dan terbang masuk ke dalam lebat ilalang. Mungkin karena yang aku tuju adalah tempat paling riuh dan menyalakan cahaya lebih terang dari kunang-kunang. Maka mereka mengerti dan menjauh pergi karena tau posisi.
Di dekat tenda orang-orang menyambutku, Wregas, Fuad, Agus, Aa’, Kru, Farhan, Sang Jendral, Mas Bambang, Gus Gembel, Pak Dwi, dan Fawas Raket Minton. Yang cewe sepertinya sudah pada tidur. Aku tak menyalahkan mereka karena tak menyambutku. Ngantuk memang tak boleh dilawan, apalagi kalau sudah dari pagi dan kecapean karena kesenengan. Bersama kunang-kunang yang pergi dan telepon dari Wregas sudah mati kucoba membayar sambutan mereka dengan senyumku yang mahal harganya. Dari situ mereka menaruh respect besar kepadaku karna Aku adalah lelaki yang memegang janji serta berani bermotor sendiri menyusul ke Kaliurang pada malam hari pukul 00.08 hingga 01.34 hanya untuk outing bersama agent live chat aplikasi pinjaman online. Aku pun menghargai mereka sedemikian rupa karena begitu terbuka menyambut sampai tengah malam begitu. Dan begitulah kira-kira cerita perihal outing.
Di tempat Si Mbah kami makan sambil membicarakan hal yang tadi sempat terjadi. Dion sungguh terlalu berani untuk menyebut Orangutan itu sebagai penjilat di depan semua orang. Aku saja menyebut-nyebut QA itu sebagai orangutan hanya di pikiranku. Sambil mengunyah nasi dan potongan tempe, Wregas menyahuti hal itu dan berkata bahwa masih untung Dion tidak menyebut QA itu sebagai penyepong SPV. Gila betul mulutnya, bahkan monyet tak selancang itu bersuara walau sedang rabies.
Kembali Fuad mengocehkan soal kendala-kendala agent lain. Siapa peduli perihal persoalan agent lain? Tentu Fuad peduli. Oleh karenanya Wregas juga akan selalu ikut-ikutan melankolis memikirkan keadaan agent lainnya.
“Gimana, Ad?” tanya Wregas begitu penuh empati.
“Ya kau yang gimana? Masalahnya udah ada beberapa orang yang nggak lanjut sama kontrak mereka. Mas Joko pulang kampung buat buka gudang dan jadi agen gas lpg, Ratri katanya juga udah keterima jadi CS di tempat lain. Katanya jadi CS di distributor obat-obatan herbal.”
“Manteb dong, gimana gajinya di tempat Ratri?”
“Up to tiga juta. Tapi di Purwokerto.”
“Gas aja kali ya? Pp magelang-jogja cape juga kalau gaji kita mentok di dua koma tiga. Insentif juga kayaknya cuma regulasi bohongan aja.”
“Coba aja, Gas. Tapi khusus perempuan katanya.”
“Halah, angel.” Lalu Wregas malah melirik ke arahku.
“Apaan??” jawabku perihal lirikan Wregas.
“Lanjut nggak?”
“Lihat nanti deh, Mas.”
“Nanti-nanti, nanti nggak lanjut,” balas Fuad, “Beberapa orang udah jelas kan nggak perpanjang kontrak. Lainnya ada juga yang udah masukin surat pengunduran diri.”
“Siapa aja kata Ayah, Ad?”
“Nanti aja, pasti juga bakal tau. Belum lagi yang nunggu gaji turun terus OTS. Keluar gitu aja tanpa ngurus prosedur pengunduran diri.”
“Asal udah dapet gaji sih nggak apa-apa kali, Mas. Buat keluar cari kerjaan lain. Gini melulu yang ada skill dari ilmu kuliahan jadi nggak guna. Apalagi yang punya hard skill lain. Bisa mati ntar perlahan-lahan kalau begini terus kerjanya.”
“Emang Kau punya skill yang nggak akan dibiarkan mati di sini?” tanya Wregas.
“Teater.”