*
Masuk ke dalam pekerjaan customer service live chat setelah lulus kuliah adalah pilihan pertama sekaligus batu loncatan yang cukup melenceng jauh bagiku. Dan itu adalah pikiran utamaku yang salah kaprah. Ada banyak pilihan untuk terjun ke dalam dunia kerja kembali pasca kuliahku, pun sebelumnya aku pernah bekerja freelance di event organizer sebagai kru media atau operator FOH dan berjualan jus. Tapi tergiur bekerja dalam kantor ber-ac dan menggunakan komputer membuatku berpikir, ‘Tidak salah mencoba, apalagi bisa langsung dapat kerja formal setelah lulus tanpa lama-lama menganggur. Kan bisa meringankan beban orang tua secara langsung dan bisa punya alasan untuk tetap di Jogja sambil nyari jalan buat teateran.’ Bodoh. Karena itu semua akhirnya Aku tertinggal jauh dengan dunia di sekitarku. Tak bisa lagi menyusul industri teater atau ikut berproses kembali bareng kolektif dengan senior-senior karena badan dibekukan pekerjaan.
Seakan-akan aku adalah ikan yang muncul ke permukaan dan melompat ke udara lalu disambar oleh nelayan dan dimasukan ke dalam freezer tanpa pernah dikeluarkan sama sekali. Membeku, tidak dimasak atau bahkan dijual. Bahkan sampai kulkasnya mati aku sudah tak bisa berenang lagi, malah harus mencari kulkas lain untuk tempatku membeku tapi tidak mati.
Pertama kali Aku mendapatkan informasi perihal pekerjaan terkait customer service berasal dari senior dari kampusku. Kami dekat dalam beberapa hal. Dan aku percaya padanya untuk mendaftarkan diri pada outsourcing yang sama karena dia juga sudah mendaftarkan dirinya dan diterima. Padahal dia DO dan ijazah yang diserahkan adalah ijazah SMA-nya. Dia mendapatkan bagian call center project ekspedisi pengiriman barang di sana. Banyak bonus menanti, shift malam ada tunjangan sebesar lima puluh ribu di project-nya, gaji pokok sudah pasti UMR, BPJS ditanggung kantor, dan bisa jenjang karir. Siapa yang tak tergiur mendengarnya. Lebih lagi, jenjang karir yang dia sebutkan sangat meyakinkan. Seniorku itu mengambil contoh Trainer yang menangani mereka, dia baru enam bulan bekerja dan bisa naik ke tingkat trainer dengan cepat. Aku berpikiran kalau freelance sebagai kru multi media EO akhir-akhir ini memang sudah jarang didapat. Soal cari duit di teater apalagi. Pasti susah kalau bukan lulusan kampus seni atau udah punya jaringan di sana-sini. Dan mencari jaringan di teater setelah kuliah adalah misi utama untuk kujalankan sambil cari kerja kantoran. Aku juga sempat takut jika mendapat pekerjaan kantoran yang kelihatan rapi akan membuatku kehilangan ideologi. Lalu kataku untuk melegakan pikiran tentang tawaran mendaftar pekerjaan adalah, ‘Minimal dalam enam bulan kita akan jadi TL.’ Aku lalu menelan kibulan pikiran yang belum pernah terjun ke lapangan.
Satu semester untuk mencapai sebuah pangkat lebih tinggi dari pegawai biasa, menjadi tim leader dengan waktu sesingkat itu menurutku adalah tempo melalui jalur jenjang karir yang cepat. Mungkin jalur cepat jenjang karir itu rasanya seperti naik shikansen dalam novel Maria Beetle. Melaju begitu kencang pada jalurnya tapi di dalam setiap gerbong ada pembunuh yang siap menghunuskan pisau atau menuangkan racun ke gelas yang akan diminum. Tiga bulan pertama biasanya untuk probation, atau masa percobaan dan training. Setelah itu, dia bisa melakukan pekerjaan sebaik apa sehingga dalam tiga bulan lanjutannya langsung diangkat menjadi tim leader. Aku menganggapnya pasti akan dapat melakukan hal yang sama.
Aku pun mengajukan surat lamaran ke kantor outsourcing tersebut. Dalam satu minggu HRD sudah menghubungi nomor whatsapp-ku untuk melakukan wawancara di minggu selanjutnya. Wawancara kulewati dengan mudah, Aku menceritakan segala pengalaman kerja freelanceku yang tak hanya soal event organizer itu, juga soal jualan jus, dan berteater walau di kolektif kecil-kecilan. Ada keunggulan dalam diriku yang pernah jualan jus, yaitu sering menangani pelanggan secara tatap muka. Dan aku kembali menonjolkan sisi saat freelance-ku menjadi bagian multimedia di sebuah event organizer. Karena itu Aku unggul dan tak akan asing dengan multimedia dan mudah beradaptasi pada setiap perangkat yang akan dipakai nanti. Minggu berikutnya HRD memanggilku untuk tes keahlian, hanya mengetik. Dan skor mengetikku adalah 104 kata dalam satu menit. Dan sore harinya, HRD mengirimkan pesan bahwa Senin pekan selanjutnya Aku dapat langsung masuk untuk training di Ruang Kartini kantor tersebut.
Mudahnya proses pendaftaran membuatku besar kepala. Karena memang tidak ada tantangan atau kesulitan khusus saat melakoni setiap prosesi pendaftaran kerja ini. Entah karena mereka memang saat itu mereka begitu membutuhkan agent atau memang akunya saja yang overqualified. Walau setelah training nanti baru akan disebutkan apakah agent bisa lanjut bekerja di sana atau tidak dikontrak pada masa percobaan, namun aku sudah percaya diri memastikan bahwa pasca training aku akan menjadi salah satu agent yang bisa melewati masa percobaan dan dikontrak tahunan.
Aku memberitahukan seniorku kalau Aku sudah bisa training di sana pekan depan. Seniorku bertanya berapa nilai tes mengetikku. Kubilang saja, “104 kata per menit.”