Waktu menunjukan pukul 12.55 dan Aku sudah di dalam Ruang Kartini menunggu pemateri, Trainer tadi. Seperti prediksi, Cewe itu telat lagi. Kami sudah memulai materi dari: tanda tangan elekronik yang sampai sekarang kasusnya sangat langka; komplain penagihan yang dialami nasabah, entah itu karena penagih terlalu galak, belum waktu ditagih tapi rumah sudah didatangi tim desk collection, pesan penagihan berulang atau pesan penagihan sebelum waktunya yang dapat diindikasikan sebagai robot pengingat pesan, hingga komplain kalau ada tim penagih yang merusak properti (dan saat duty pada bulan ke dua dalam kontrak Aku mendapat kasus: ada nasabah yang kaca jendela rumahnya dipecah oleh tim penagih, kadang para penagih itu cuma mengandalkan tenaga seperti gorila tanpa peduli bagaimana ujung tindakan mereka), dan permintaan surat pelunasan.
Si Cewe tadi ingin dijelaskan kembali dan akhirnya, Trainer pun mengulang materinya. Itu adalah hukuman buatku yang tepat waktu karena harus mendengar materi dua kali dan hadiah buat Cewe tadi karena terlambat pun tetap mendapat materi. Hal-hal seperti itu yang menyebabkan orang tak pernah menghargai waktu, karena kalau ada yang kelewatan pasti bisa diulang kembali dari awal bukan meninggalkan mereka dengan kekosongan akibat tidak menepati waktu hingga tepat waktu hanyalah rugi belaka.
Seperti biasa, Cewe itu juga nyerocos melulu membandingkan tempat kerja lamanya dan kantor baru yang dianggap akan menerimanya sebagai pekerja. Dalam keadaan itu Aku memundurkan kursiku sambil bersandar dan membaca ulang materi. Karena mereka berdua lebih terlihat adu kepintaran dalam kepiawaian mengolah chat daripada mengulang materi tadi. Kenapa Cewe Dari Batchku itu tidak mengikuti kata-kata Trainer saja. Toh, product knowledge yang sekarang dan di kantor lamanya jelas berbeda. Trainer merasa kesal tapi masih coba ditahan agar dianggap profesional, Si Cewe itu merasa puas karena menurutnya ilmu di kantor sebelumnya bisa dipamerkan dalam adu yang sia-sia itu.
Aku tak memperdulikan mereka, kuanggap yang didepanku saat itu adalah dua cupang dalam aquarium kaca sebesar toples kacang. Saling melucuti sirip masing-masing hingga akhirnya terlihat bondol dan kehilangan warna. Tak laku untuk dijual kembali di depan sekolah TK.
Aku pun ditanya apakah ada yang ingin kutanyakan, Aku tetap menjawab dengan senyum dan berkata “Tidak.” Trainer tak menawarkan pertanyaan ke Si Cewe lagi karena Dia tau percakapan mereka akan panjang dan sia-sia. Benar-benar Aku tak mengingat atau berusaha mengingat nama Cewe itu. Karena memang Dia bikin kesal dan membuat banyak waktu mempelajari materi jadi terbuang percuma. Dalam sela-sela penjelasan penuh kesia-siaan, Trainer mengingatkan besok Dia akan mengirimkan full spreadsheet tentang pedoman yang harus dihapalkan, dipahami, dan dijawabkan ke nasabah saat on duty nanti. Aku mengiyakan, Si Cewe kembali mempertanyakan perihal kesia-siaan perbandingan kantor lamanya.
Tak berkesudahan saja adu mulut mereka berdua. Kalau aku bisa keluar sebentar dan membawa masuk ring tinju serta sarung tangannya, maka aku akan mengadu mereka. Jika belum cukup adu mulut boleh kali adu tonjok sampai rontok gigi biar saat mereka debat lagi kata-katanya jadi percuma karena suara mereka lumer di gusi. Apa kiranya mereka tak bisa sedikit menggunakan nalar untuk mengalah daripada pakai emosi membandingkan hal-hal tak relevan.
Aku berharap tiba-tiba diriku diserap ke atas langit oleh kapal alien dan membawaku ke ujung daratan bulan tanpa memberiku peralatan pengaman hingga mati sesak napas sendirian lalu mayatku diteliti oleh mereka kenapa bisa ada bagian tubuh mengembung dan berwarna biru. Aku lebih baik begitu daripada mendengar cek-cok mereka yang percuma.