Kandang Monyet

Arif Billah
Chapter #17

#17

*

Senin, hari pertama Aku bekerja. Aku salah dalam membaca jadwal. Sabtu dan Minggu Aku merayakan liburan dan bepesta menyambut pekerjaan baru dengan mabuk bersama senior-senior kuliahanku di sebuah kontrakan yang nyaman. Kami menganggap kontrakan itu sebagai basecamp teater kami. Maklum, teater berbasis komunitas kecil-kecilan seperti kami belum bisa atau bahkan mustahil memiliki sanggar yang representatif untuk latihan. Mereka semua dan aku berasal dari kampus yang sama, dari unit kegiatan mahasiswa yang sama, dan setelah lulus atau DO kami tetap berkumpul melanjutkan renjana kami: teater.

Berteater ini lah yang membuatku enggan meninggalkan Jogja. Ada senior jauhku berkata kalau aku hanya menghabiskan masa muda dengan tetap di Jogja. Romantisme bisa habis kalau kebutuhan hidup sudah menipis, katanya. Memang, proses romantisasi tersebut aku pembuatnya. Namun rasa romantis itu tak muncul begitu saja bukan. Dia yang bilang begitu tak mengingat bahwa dirinya adalah katalisator proses percintaanku dengan teater. Kalau seniorku itu tak memantikku dengan menggarap banyak pementasan kecil dan diskusi umum perihal pengaruh-pengaruh, ekosistem, ideologi, serta pelaku teater maka aku tak akan mungkin bisa secinta itu hingga rela menggantungkan hidup di kota dengan UMR rendah.

Rencanaku seperti ini: bekerja dan mendapat bayara sebagai penunjang hidup utama, lalu berteater tanpa khawatir kelaparan walau laku keseian kami belum dianggap masuk kanon dan bursa industri teater Jogja. Aku percaya memang jalan ini akan sulit dan terjal hingga batuan dapat menimpa hingga aku mati tertimbun mimpi-mimpi. Di kontrakan ini juga –sebagai saksi bisu­– bahwa kami pernah produktif menciptakan banyak pementasan. Walau memang hanya jadi penampil di café-café, mengisi acara event kebudayaan daerah, atau menjadi pengisi acara undangan seminar mahasiswa. Tapi tak apa kan, setidaknya beberapa dari kami tetap berjuang dengan ideologi kami untuk bisa menjadikan tetaer sebagai laku walau belum tentu kalau kami memperoduksi pementasan teater akan laku.

Pertama kali kami menemukan kontrakan tersebut ketika ada sebuah perlehatan teater nasional khusus mahasiswa. Berhubung aku masih mahasiswa waktu itu walau sudah demisioner dalam jenjang kepengurusan organisasi, aku tetap bersemangat membantu adik-adik tingkatku untuk berproses kreatif. Bahkan kami para senior sempat kelabakan dengan kampus yang tutup pukul sepuluh malam, sedangkan para anggota teater kami baru bisa berkumpul pada pukul tujuh. Lobi-lobi ke unit atau pengurus kampus pun tidak tembus, walau kami berusaha meyakinkan bahwa dalam parade kali ini pementasan dapat merepresentasikan kampus dengan suguhan artistik memuaskan. Namun tetap saja, aturan tetaplah aturan. Kampus yang harusnya menjadi wadah inkubasi proses berpikir bahkan berkesenian kok bisa-bisanya ada jam buka dan tutup.

Maka aku dan beberapa senior berinisiatif untuk mencari kontrakan dan dijadikan sebagai basecamp latihan teater. Banyak tempat kami datangi, dari pusat kota hingga daerah pinggiran. Kebanyakan kontrakan tidak memiliki area longgar, bahkan kalau sial kami menemukan rumah tahanan mini. Aku menyebut begitu karena memang rumah itu sebenarnya dikonstruksi berbentuk satu ruangan lebar dengan satu kamar mandi, untuk menyiasatinya si pemilik membuat bilik-bilik dengan triplek tanpa jendela. Coba dikasih jeruji, bukan pintu. Penjara.

Setelah berhari-hari kami merasa belum ada rumah yang cocok untuk dijadikan basecamp akhirnya kami mendapat tawaran dari laman facebook. Lokasinya berada di perkampungan yang sudah terhimpit jalan besar disudut kota. Perlu usaha ekstra dari jalan utama hingga bisa ke kontrakan tersebut, jalannya meliuk-liuk seperti berada di papan ular tangga. Kami menghampiri lokasi tersebut. Terlihat mengenaskan. Rumah dengan desain joglo setengah matang. Ingin terlihat melanggengkan arsitektur gaya lama namun gagal ditempa. Atapnya limasan, pintunya normal seperti pintu pada umumnya, tralis di setiap jendela membuatnya makin aneh, lalu keramiknya juga modelan lawas: keramik berwarna kuning seperti di rumah dinas bupati peninggalan belanda.

Lihat selengkapnya