Kandang Monyet

Arif Billah
Chapter #21

#21

*

Lagi-lagi Gus Gembel duduk dekat dengan kawan-kawan batchnya. Dari pojok dekat tembok ada Asna, di kiri Asna ada Adinda, dan di kiri Adinda ada Gus Gembel. melihat kesolidan batch mereka, Aku jadi bersyukur karena sendiri. Satu batchku dua orang, namun satu orang barenganku dijagal saat di tengah-tengah training dan akhirnya Aku satu-satunya orang yang masuk sebagai agent baru, keadaan bagus bagiku. Tak perlu memaksa diri untuk akrab dengan yang seangkatan kalau cuma masuk sendirian kan. Apalagi ‘sok asik’ dengan agent lama rasanya sudah lebih melelahkan daripada kerja sesungguhnya.

           Kalau boleh mengingat, Asna ini yang pernah jadi sumber masalah Dion dan Orangutan hingga ada kejadian banting-bantingan kursi. Kalau Adinda sih orangnya pendiam. Terlihat jelas kalau dia baru lulus kuliah juga, namun bukan mahasiswa yang betah di kampus lama seperti yang kulakukan dulu. Dia seperti buah persik di antara buah naga.

           Melihat di antara mereka bertiga lagi-lagi Gus Gembel nglentruk seperti gombal cucian yang menumpuk dan belum disetrika, ban kempes yang perlu dipompa, tali tambang yang hilang tenaga dan tak tegang lagi karena tak dibuat untuk mengikat apa pun. Aku berada di cubicle depan Adinda, persis. Kenapa seperti itu, karena Aku cukup mahir rasanya sebagai senoir yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan atas kebingungan trio itu saat mengerjakan chat dan Aku juga memiliki alasan kenapa harus dekat dengan Adinda.

           Selain karena kehadiran dan dekat dengan Adinda, sepertinya tak ada hal lain yang bisa membuat Gus Gembel tegak berdiri. Semangat Gus ini agaknya perlu didongkrak juga. Tapi, entah menggunakan apa. Ingin juga Aku mengganjal lehernya dengan bata biar kokoh agaknya seperti tembok yang pernah Berlin miliki. Setiap duty Dia lesu, kalau main minton saja Dia menggebu-gebu. Smash sana, smash sini. Loncat sana, loncat sini. Sebelum akhirnya dia lesu kembali kalau badanya sudah menempel kuris. Harusnya Fawas yang menggebu-gebu saat main minton dan Gus itu tak perlu juga ikut begitu. Karena Fawas kan inisiator utamanya. Kalau ada orang yang mengalahkan semangat dan gairah bermain seorang inisiator, rasanya itu bisa disebut sebagai kedurhakaan. Pakaian Gus juga kelihatan tidak pernah rapi melulu, jangankan pakaian yang dikenakan, rambut yang menempel di kepala juga dibiarkan keriting seperti domba. Lebih mengherankan lagi adalah saat diketahui kalau Dia anak seorang Kiai. Gus Gembel waktu itu pernah cerita saat berada di camping ground Kaliurang kalau Dia tidak ingin menyusahkan orang tua dan ingin membuktikan kalau bisa hidup sendiri tanpa embel-embel dari orang tua. Mengetahui hal itu, kami malah makin menjadi mengejekinya dan memberikan nama Gus Gembel kepadanya. Entah sampai kapan Dia akan selalu lesu begitu. Apalagi tadi malam kami baru saja minton hingga larut. Maklum, kesempatan itu langka karena hampir semua agent laki-laki bisa hadir di sana. Beberapa agent di grup minton yang isinya begundal ini jarang dapat jatah free bersamaan kan soalnya. Sekalinya ada kesempatan ya kami akan minton sampai kecapaian, dilanjut nongkrong ke warmindo untuk saling berkeluh dan adu nasib perihal pekerjaan.

Saat minton semalam Aku juga mengajak Adinda. Intinya begini, kalau semua bisa jatuh cinta, aku tak mau jatuh tersungkur sendirian. Aku ingin membuat orang tersungkur bersama-sama setelah berani mencecap anggur cinta dari cawan Adinda. Terlihat juga siapa yang panas di sana karena melihat yang kubawa. Dan sebelum Aku mengajaknya minton, kami sempat berkeliling juga buat nyari pecel lele yang lelenya dibakar dan sambelnya diberi kacang untuk makan malam. Setelah itu mencari penutup mulut ke Ruko Mixue dan ditutup dengan ke kosku sebentar untuk ganti baju longgar. Setelah itu Aku dan Adinda terlambat satu jam ke gelanggang tak sesuai janjiku kepada para senior di kantor sebelumnya. Aku menjanjikan kepada mereka akan datang pukul 18.00 tepat. Karena ada agenda dengan Adinda otomatis janji harus ditunda dan syukurnya juga Adinda kubawa ke sana untuk menyergarkan mata mereka. Kalau bisa dibilang, sesaat aku menjelma monyet juga waktu itu. Wukong yang menyantap persik di kebun kahyangan hingga mabuk di perjamuan dan membuat kaisar giok mengamuk tak karuan.

Aku mendekati dan mencoba bersama Adinda bukan karena ketertarikan dalam artian tertarik ingin memiliki. Tertarikku karena ada beberapa agent senior yang sangat maksa untuk coba mendekatinya. Salah satunya Pak Dwi yang klenik abis itu.

Sekarang saat sedang duty, cubicle Pak Dwi ada di kiri Gus Gembel. Pun dia masih ingin mencoba mendekati Adinda. Padahal jelas Gus Gembel dekat dengan Adinda karena dia naksir juga. Nah, persaingan-persaingan begini lah yang membuatku gemas hingga ingin membuat siapa saja merana dengan percobaan-percobaan mereka. Aku tak jahat. Mengingat Mona, apa yang aku lakukan harusnya normal belaka.

Dan yang juga lemas saat Aku tiba bersama Adinda saat minton malam itu tentu saja Fawas. Smash-nya layu, matanya sayu, mukanya kaku. Padahal Dia sudah punya pacar yang ldr-an. Memang kedekatan fisik selalu lebih baik.

Lihat selengkapnya