Kandang Monyet

Arif Billah
Chapter #22

#22

Mungkin ini sudah tak relevan tapi aku ingat perihal layoff paling brutal di perusahaan e-commerce pada waktu covid lalu. Brutal yang aku katakan bukan berarti mereka memecat sangat banyak karyawan atau menjadi salah satu pemecatan karyawan terbesar dalam sejarah. Melainkan prosesi pemecatan itu terjadi secara mendadak pada waktu di mana orang-orang sedang bingung-bingungnya. Era covid adalah waktu paling sulit untuk bertahan hidup bagi siapa pun. Yang belum punya pekerjaan sulit mencari, yang bekerja kantoran di rumahkan, pemilik warung tidak ada yang berjualan. Dan yang bekerja sebagai buruh, siapa pun pasti bisa menyangka cepat atau lambat pekerjaan akan meninggalkan mereka.

Namun dalam prosesi layoff perusahaan yang aku sebutkan lebih mengagerkan bahkan dari petir di siang bolong. Bagaimana tidak, layoff tersebut dilakukan sepihak hanya dengan mengirim email ke para karyawan. Ada yang baru pulang shift dan ketika email lebih dulu sampai di hp mereka daripada badan mereka sampai di kosan, pesan pemecatan itu mereka dapatkan. Ada yang baru selesai mandi, ingin memeriksa jam agar berangkat tidak terlambat malah dia tidak jadi bekerja karena email layoff lebih dulu mengetuk layar hpnya. Dan berbagai kondisi lain.

Uang pesangonnya pun paling kalau sesuai kontrak hanya satu kali gaji bersih. Di masa sesulit covid, aku tak membayangkan isi pikiran orang yang dipecat secara sepihak tersebut. Bagaimana mereka membayar kos atau kontrakannya, akan makan apa mereka kalau mudik saja tidak bisa akibat pembatasan oleh pemerintah. Pun jika layoff perusahaan tempatku bekerja terjadi setelah tidak adanya covid, tetap saja hanya kesulitan-kesulitan yang akan bertamu ke kontrakanku selanjutnya.

Lagi-lagi pikiranku kan akhirnya menyalahkan pemerintah. Sebenarnya apa yang mereka lakukan hingga keadaan mengenaskan ini bisa terjadi. Apa perkara kami ini kurang penting di mata mereka. Manusia bekerja untuk bisa hidup dari dapat uang, bukan dapat uang lalu hidup dan dijadikan pekerja. Kalau modal jadi pemerintah yang bekerjanya menjadi ujung regulasi hanya lah dipilih, rasanya tidak fair. Bekerja jadi customer servise saja harus ditraining sampai kompeten. Kalau customer service salah saja bisa dibentak nasabah dan atasannya. Kalau pemerintah ini bagaimana. Apa tidak ada tes kompetensi buat mereka. Mungkin keadaan mereka yang sudah menduduki kuasa sama seperti yang kulakukan akhir-akhir ini, menanggap orang yang protes dan bertanya perihal solusi permasalahan sebagai monyet belaka. Monyet.

Lalu pada hari berikutnya, suasana di kantor terasa lebih muram dari biasanya. Setelah kabar soal pemotongan gaji besar-besaran dari file yang didapat semalam, aku tahu bahwa semua orang di tim chat ini sedang berada di ambang ketidakpastian. Sejak pagi, hampir tak ada yang berbicara banyak selain sekedar formalitas antar sesama agent. Bahkan, Gus Gembel, yang biasanya duduk lunglai dengan lesu tapi masih bisa tertawa lepas ketika ada yang bergurau, kini hanya membisu di meja cubicle-nya. Amar juga yang sering menggebrak meja atau memukul paha terlihat diam-diam saja.

Tapi masalahnya bukan hanya di sana. Ada sesuatu yang jauh lebih besar menggelayut di atas kepala kami—sesuatu yang tak diucapkan, tetapi semua orang bisa merasakannya. Sebuah pesan yang dikirimkan oleh pihak manajemen pusat kemarin malam, menjelang tengah malam, setelah main minton, dari Ayah.

Pesan itu datang tiba-tiba, seperti badai yang menghantam tanpa peringatan. Isinya adalah keputusan dari perusahaan pusat yang tertulis dalam bahasa Inggris, lengkap dengan tabel rincian anggaran yang terpotong—bahkan jauh lebih parah dari yang kami bayangkan sebelumnya. Potongan gaji untuk setiap agent begitu besar, seolah-olah kami hanya diberi sedikit "sisa" dari apa yang seharusnya menjadi hak kami. Seperti lele dalam kolam yang mendapat sisa makan dari ayam yang kandangnya di atas mereka. Efisiensi perternakan.

Namun, apa yang membuat situasi semakin buruk adalah pesan tambahan dari atasan langsung kami—sebuah pesan yang hanya dikirimkan secara internal kepada beberapa orang saja, tapi langsung menyebar dalam bisik-bisik. Pesan itu isinya peringatan keras:

"Jangan ada yang membocorkan informasi ini ke siapa pun ya, termasuk agent lain. Siapa pun yang melanggar, akan menghadapi konsekuensi serius. Tidak hanya SP tapi bisa juga terminate."

Ancaman itu seperti tali yang semakin erat mencekik leher. Semua orang tahu, terutama mereka yang telah menerima pesan itu, bahwa rahasia ini harus dijaga. Tapi semakin banyak yang tahu, semakin sulit untuk menyembunyikannya. Dan di tengah semua itu, kami harus tetap bekerja, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

Di lantai tempat kami bekerja, ketegangan makin terasa. Setiap kali aku memandang Fuad atau Wregas, aku bisa melihat kerutan di dahi mereka. Mereka berdua tahu lebih banyak daripada yang lain, tapi mereka tak bisa berbicara. Mereka, seperti diriku, terikat oleh pesan ancaman dari atasan yang sebenarnya di tujukan untuk Ayah. Pun kalau pesannya untuk dia, kami sebagai anak-anaknya tak mungkin bermulut ember. Sekali ada yang ketahuan, maka Ayah juga yang akan jadi sasaran utama atasan. Monyet lah. Kami harus menyimpan rahasia ini rapat-rapat, setidaknya sampai ada keputusan lebih lanjut.

Lihat selengkapnya