Di floor tak semua tau akan informasi tentang potongan besar-besaran upah karyawan dari perusahaan utama untuk outsourcing. Pada hari-hari dan shift-shift berikutnya kami diam saja. Sekarang tak terasa aku sampai pada shift S1. Sudah lebih dari pukul tujuh malam, tim support yang menjengkelkan seperti monyet kelaparan juga sudah tak ada di kandang, berarti waktunya kami bekerja dengan “gembira”. Biasanya dalam waktu-waktu tanpa penjaga seperti ini akan ada yang jadi DJ jadi-jadian untuk memeriahkan dingin ruangan, dia yang rela menjadi pusat penyetel musik untuk di dengar satu floor harus bisa mengatur multitaskingnya sedemikian rupa. Bagaimana tidak, tugas handle chat beserta kebutuhan lainnya saja sudah banyak apa lagi ditambahi tugas menjadi pemutar lagu. Kalau memutar lagu sesuka yang memainkan dan membiarkan playlist acak bermain sih tidak masalah. Tapi kalau memang agent sedang kerasukan atau bahkan menjelma jadi monyet, tak pelak akan terjadi banyak permintaan pergantian lagu sesuai request siapa saja dan kapan saja. Bahkan mengganti lagu sebelum lagu selesai sering terjadi. DJ ini sangat diwajibkan, mau tidak mau harus menerima request apa pun dari para agent. Kecuali Dia yang egois, Aa’ misalnya. Di tengah riuh suara ketik dan umpatan kesal Dia bisa-bisanya menyetel lagu Happy Song dari BMTH. Kami para cowo juga suka mendengar hal serupa, kesan lagu BMTH kan selalu garang, keras, tapi tidak dikantor juga untuk menyetelnya. Fawas selalu yang meributkan hal itu, mulutnya akan nyerocos menyindir-nyindir terus menerus seperti smash kok minton yang dihantamkan terus menerus hingga lagunya diganti, jika tidak diganti maka mulut Fawas akan terus menyerocos tak selesai. Dan Aa’ tak akan menyetel musiknya untuk umum lagi. Kesal sendiri. Dia menancapkan earphone untuk kupingnya sendiri. Menyetel Bring Me The Horizon lagi. Jika hal tersebut sudah terjadi maka giliran Amar yang lebih memahami suasana atau Farhan yang paham selera masyarakat floor menjadi DJnya.
Setidaknya musik bisa melonggarkan pikiran kami yang pengar, memberi semangat ke Gus Gembel yang makin lemas karena informasi semalam perihal potongan gaji dan sedang kecapean setelah main minton, menenangkan Fuad dan Wregas yang khawatir akan ditinggal agent lain cabut dari kantor entah dengan metode kepergian seperti apa, sampai membuat Sang Jendral terjaga dari ngantuknya.
*
Setelah kejadian malam itu, Gus Gembel tak lagi seantusias dulu ketika bertemu Adinda. Aku bisa merasakan perubahan dalam sikapnya setiap kali kami semua duduk di cubicle masing-masing, mencoba menyelesaikan chat yang datang seperti kawanan banteng dikejar rombongan singa di sabana. Jika sebelumnya, tatapan matanya sering mencuri pandang ke arah Adinda, kini dia lebih banyak tertunduk, sibuk mengetik tanpa semangat yang berarti. Pencurian-pencurian kecil mata Gus Gembel sudah berakhir diringkus polisi kecemburuan dalam hatinya sendiri. Tidak ada lagi kupu-kupu di dalam perut atau kunang-kunang yang kadang menyembul kecil-kecil di antara rambutnya. Bahkan, rambutnya yang keriting khas domba itu pun tak lagi terkesan sesantai biasanya—terlihat makin kaku dan tak terurus.
Kabar bahwa Gus Gembel naksir Adinda memang sudah jadi rahasia umum di kalangan agent sejak pertama mereka masuk kantor dalam satu batch. Meski dia tak pernah mengungkapkannya secara langsung atau membicarakannya dengan siapa pun, semua orang bisa melihat ketertarikan itu. Bahkan, aku pun menyadari bahwa meskipun dia selalu terlihat lesu di depan kita semua, ada semangat terselubung yang selalu muncul setiap kali Adinda ada di sekitarnya. Namun kini, semangat itu memudar.
Mungkin kedepan, soal rahasia-rahasia umum aku akan lebih tau segalanya karena gosip yang memenuhi ruang kantor dapat diibaratkan seperti cahaya matahari yang perlahan menyelinap jendela lalu menerangi kamar sampai yang tidur pun jadi silau. Pun aku sadar juga, dengan melakukan tindakan apa saja aku sudah menjadi uang lebihan proyek di meja pejabat: bisa dimangsa kapan saja dan siapa saja.
Tepat setelah malam bulutangkis yang penuh ketegangan, dimana Adinda datang terlambat bersamaku, suasana di kantor berubah. Ada yang retak di antara mereka, meskipun tidak pernah dinyatakan dengan kata-kata. Aku bisa merasakan bahwa momen malam itu, ketika kami nongkrong di warmindo sampai larut setelah minton dan membahas busuknya potongan gaji pekerja, telah menyingkap sesuatu di antara mereka. Ada sesuatu yang terpendam, dan kini ia mulai retak, perlahan-lahan hancur.
Beberapa minggu setelahnya, aku mempergoki Gus Gembel sedang berdiri di depan jendela pantry, melihat ke luar dengan tatapan kosong. Tangannya memegang gelas plastik berisi air mineral dingin yang diambil dari dispenser (kopi? mana ada kopi di perushaan sepelit ini). Aku tahu, ada sesuatu yang ingin dia dibicarakan tapi tak tahu harus mengeluhkannya dengan siapa. Tanpa berkata apa-apa, aku mendekat dan berdiri di sebelahnya. Mencoba sok asik seperti kata para senior, siapa tau ada informasi baru.
Saat kusapa, Dia tak langsung menoleh, masih menatap jauh ke luar jendela, seperti sedang mencari sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain.
"Kenapa e, Gus? Kok ngalamun," tanyaku akhirnya.
Gus Gembel mendengus pelan, suara itu seperti perpaduan antara tawa yang terpendam dan keputusasaan."Ah, nggak apa-apa, Mas. Biasa aja. Cuma... yah, gitu deh," jawabnya, tapi nada suaranya tidak biasa. Ada sesuatu yang patah di dalamnya.