Kandang Monyet

Arif Billah
Chapter #24

#24

*

Pada suatu ketika setelah tidur panjang sehabis shift kerja malam, aku merasa saat bangun tidur, aku adalah tikus yang mengenakan pakaian lengkap astronot dan melayang di gravitasi nol kegelapan tata surya. Aku berlomba entah dengan apa untuk bisa kembali pada orbit agar hidupku tak terombang-ambing dan menghantam meteor atau asteroid tak kuinginkan. Namun pada saat itu aku tetap merasakan hidup walau tak ada harapan.

Ruang hampa itu kurenangai. Suhunya yang dingin membuatku ingin kembali berenang dalam ketuban dalam rahim ibuku. Aku mencari hewan lain sebelum aku merasa hampa lebih jauh karena sendiri di luar angkasa. Kenapa aku malah menjelma tikus. Tikus harusnya berada di bawah tanah dan bergerombol, berlomba menuju remah makan mereka dengan saling himpit bahkan menggigit. Bukannya yang layak mengeksplorasi rahasia angkasa hanyalah simpanse belaka. Simpanse yang digunakan untuk menguak banyak hal karena manusia terlalu pengecut dan terlalu mencintai kefanaan dunia. Kenapa aku tak menjelma simpanse dalam bangunku. Pakaian lengkap astronot tak harusnya dikenakan seekor tikus. Apa jadi simpanse pun akhirnya aku tak layak. Sialan.

Dan ketika aku ingin menjangkau sebuah pos angkasa dalam orbitku, dari sudut mata aku menangkap kedip merah menyala. Apa ini semacam notifikasi panggilan. Siapa yang memanggil, apakah setan ada keperluan kepadaku untuk membuat derita jadi lebih berat. Atau kedip itu adalah pertanda lainnya bahwa aku harus melarikan diri dari bahaya. Atau juga kedip merah itu adalah peringatan bahaya yang aku sudah tidak bisa dari darinya.

Dengan apa aku bisa selamat dan kembali menjadi manusia, mengenakan kolor dan celana dalam tanpa kaus kutan di atas kasur. Atau aku memang harus kehabisan udara di luar angkasa sebagai tikus berpakaian astronot lengkap. Aku harus bergerak ke mana dan menuju apa kalau begini akhirnya.

Kedip merah semakin cepat dan cahanya semakin pekat. Embun mulai menutupi kaca helm astronotku. Benar-benar oksigen telah habis. Jika dengan ini aku mati, maka aku ingin kembali ke dalam rahim ibuku. Sedikit merasakah hangat walau saat lahir lagi, aku akan melupakan kehangatan ketuban dan kembali kedinginan di tengah angin bernama kehidupan.

Ketika kedip merah itu semakin pekat, aku menyadari bahwa bukan hanya tanda bahaya yang semakin dekat, melainkan juga pengingat yang terus menuntut perhatian. Dalam ruang hampa ini, aku hanyalah tikus kecil yang tersesat, tapi kedip merah itu terasa seperti sesuatu yang lebih besar—seperti sebuah alarm tak kasat mata dari hidupku sendiri. Mungkin ini bukan sekadar peringatan tentang kehabisan oksigen. Mungkin ini adalah peringatan bahwa waktu sedang habis, dan aku terlalu lama terjebak dalam orbit yang salah.

Kedip merah terus menyala, seperti rasa cemas yang diam-diam merangkak di dalam tubuhku setiap kali aku duduk di meja customer service, menatap antrean chat yang semakin panjang tanpa henti. Kedip itu adalah simbol dari setiap notifikasi yang muncul di layar komputer kantorku, sebuah lambang dari rutinitas monoton yang membayangi setiap hari. Mungkin, kedip merah itu adalah peringatan bahwa hidupku telah melenceng jauh dari jalur yang seharusnya. Bahwa jika aku terus berada di sini—dalam pekerjaan ini, dalam kondisi mental yang stagnan—aku akan terus terombang-ambing, kehilangan arah, sampai akhirnya habis tanpa sisa.

Lalu, aku berpikir: apakah ini hidup yang kumau? Terjebak di ruang hampa, seperti tikus yang mencoba bertahan di luar angkasa, jauh dari tanah, jauh dari kehidupan yang nyata? Mengapa aku tetap di sini, di pekerjaan yang tak memberiku kepuasan, di shift malam yang merampas waktuku, bahkan menguasai pikiranku hingga tak memberiku ruang untuk bernafas? Mengapa aku takut untuk melepaskan diri?

Mungkin itulah yang membuatku lebih mirip tikus ketimbang simpanse. Simpanse mungkin lebih berani, lebih pantas menjelajah ruang angkasa dan menghadapi ketidakpastian. Sedangkan aku, dengan segala kebingungan dan ketakutanku, hanya bisa mengambang, menunggu apa pun yang akan menimpaku selanjutnya.

Aku harus bergerak. Kedip merah itu semakin cepat, mendesak. Embun di kaca helmku mulai menebal, dan aku tahu waktuku hampir habis. Tapi ke mana? Ke mana aku harus pergi jika tidak ada arah yang pasti? Apakah hidup di luar pekerjaan ini akan lebih baik? Atau aku hanya akan tersesat lebih jauh, hilang di antara bintang-bintang dan meteor yang menghantam dari segala arah?

Saat alarm berbunyi dan aku terbangun, menjadi manusia lagi, pertanyaan itu tetap ada. Kedip merah mungkin sudah hilang, tapi cemas dan kebingungan tetap ada, menghantuiku di setiap langkah. Mungkin, satu-satunya cara untuk benar-benar bangun adalah menemukan kembali orbitku—sebelum aku tersesat lagi, untuk selamanya.

Alarm menyala, aku terbangun lagi dengan wujud manusia seutuhnya.

 

*

Lihat selengkapnya