Kandang Monyet

Arif Billah
Chapter #25

#25

*

22.00, hampir tengah malam dan suasana di floor sedang gila-gilanya. Sang Jendral yang selama ini ngantukan, tetap diam sambil memperhatikan walau sebenarnya dia memperdulikan keadaan sekitar, kini semua matanya terbuka metatap monitor sejadi-jadinya. Bukan hanya matanya yang mengantuk, melainkan satu mata miliknya yang buta karena pernah ditusuk obeng musuhnya di masa lalu juga seakan-akan ingin ikut terbuka. Lainnya ada yang naik ke atas meja sambil berjoget, Amar orangnya. Kakinya menghentak-hentak lebih keras dari gema bass. Saat itu lagu yang kusetel adalah kumpulan best song – Tipe-X. Ya, saat ini aku yang sedang jadi Dj. Repot sebenarnya menambah pekerjaan di dalam monitor sambil menyaksikan kericuhan.

           Amar sangat semangat menjogetkan lagu ska di atas meja. Keadaan tersebut mungkin akan terjadi sekali seumur hidup. Malam itu hanya ada empat orang yang on duty, Sang Jendral, Amar, Aa’, dan Aku. Kami mati-matian membalas chat dari nasabah seluruh Indonesia hanya dengan empat orang saja. Antrean chat sudah begitu banyak hingga 240 dan Rizki ribut menyemangati kami untuk claim chat sebanyak-banyaknya. Aku percaya kenapa kami berempat yang berada di malam jahanam ini. Karena kinerja kami yang efisien, cepat, serta tepat, tapi untuk empat orang versus nasabah se-Indonesia terbilang biadab juga. Minimnya agent tersebut terjadi karena banyaknya agent yang tidak memperpanjang kontrak, mengundurkan diri, dan OTS. Intinya makin lama sumber daya manusia hampir habis tak menyisa.

           240 dan terus bertambah. Angka-angka itu seakan-akan tumbuh di sudut layar monitor bagai semak belukar di ujung perumahan yang ditinggalkan kontraktor. Aku mulai merasa mual hanya dengan melihatnya, tetapi tak ada pilihan lain. Aku sudah terjebak di sini, aku dijebak untuk di sini, dan satu-satunya cara keluar adalah menyelesaikan semua ini. Bakar habis semuanya dengan claim chat sebanyak yang aku bisa hingga akhirnya walau ada monyet di antara itu pun bisa aku santap karena mereka telah matang terpanggang.

           Kuhitung waktu di sudut layar. Detik pasti dari jam digital yang kuakses melalui time.is. Sudah hampir tengah malam, dan kepala mulai terasa berat seakan bulan purnama duduk ditengkuk. Amar masih mengetik cepat sambil sesekali menghentak meja dengan kakinya, seolah musik ska di speaker adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya tetap waras. Sementara itu, Sang Jendral duduk diam, fokus, tapi aku bisa melihat keganansannya bangkit kembali. Mungkin kalau monyet di monitor itu manusia nyata didepanya, bisa saja monyet-monyet itu dibogem dan adegan film action bisa saja terealisasi di kantor ini. Sesekali, dia mengusap matanya—mata yang masih utuh. Mata yang satunya lagi, yang sudah lama tak berfungsi, kini tampak semakin tenggelam dalam bayang-bayang wajahnya yang keras.

           Aku sendiri mulai kehilangan fokus. Setiap notifikasi chat yang masuk terasa seperti angin  kecil yang membawa kerikil tajam hingga mengganggu ritme pikiranku. Kelelahan sudah merasuk ke setiap otot tubuh menjelma jerat halus dan merambat ke syaraf, namun aku tahu, gelombang ini belum selesai. Masih ada jam-jam panjang yang harus dilalui.

           Di sisi lain, Aa’ masih mengetik cepat sambil menyumpalkan earphone ke telinganya. Musik BMTH terdengar samar dari earphonenya yang bocor. Aku tahu dia tidak benar-benar menikmati malam ini, tapi setidaknya musik keras itu mungkin sedikit membantu melupakan kenyataan bahwa kami tengah terjebak di dalam neraka live chat yang tak ada habisnya. Biar dunianya sendiri melumat dunia nyata ini.

Lihat selengkapnya