*
Malam telah larut, dan aku masih duduk di depan komputer. Harapanku untuk menemukan mesin waktu—entah dalam bentuk apa pun—tidak pernah terwujud. Mungkin keinginanku menemukan mesin waktu hanyalah pelarian untuk bisa melompati semua kesulitan ini. Padahal, pada awalnya, mesin waktu hanyalah sebuah konsep imajiner yang kubayangkan demi sedikit kebahagiaan di tengah rutinitas yang mencekik. Seiring waktu, harapan itu menjadi nyata. Bukan untuk kembali ke masa lalu atau melompat ke masa depan, tapi untuk berhenti sejenak, sejenak saja, dari waktu yang berputar tanpa ampun ini.
Tiga bulan terakhir adalah gila. Bukan gila dalam artian petualangan, tapi dalam artian kegilaan yang lambat dan mematikan. Kerja lembur, dikelilingi oleh kebijakan yang tak masuk akal, dan keluhan demi keluhan dari sesama agent yang mengeluhkan gaji tak sesuai hingga sistem insentif yang absurd. Seolah kami bisa menyeimbangkan diri menggunakan galah saat berjalan di atas tambang yang terbentang antara celah Niagara, siap jatuh kapan saja.
Memang begini adanya, Indonesia ini bukan negaranya orang malas, malah isinya rakyat pekerja keras namun hidupnya kering diperas sampe kebas. Monyet.