Rabu, 30 April 2014
Gais tengah menikmati momennya untuk melamun. Membiarkan pemandangan hilir mudik manusia di sekitar gedung bimbel lewat di depan matanya. Tanpa memedulikan. Tanpa dipedulikan. Sementara kedua telapak tangannya menempel di pipi, sikunya bertumpu pada lutut. Rambut pendek yang hanya menutupi lehernya dibiarkan mengintip dari kupluk jaket di kepalanya. Dengan poni yang menyentuh alis matanya, sesekali ujung poni itu bergerak-gerak seiring dengan alis dan dahinya yang berkerut atau terangkat. Telapak kakinya digerak-gerakan tanpa irama. Dia berusaha untuk tidak terantuk karena kelelahan menunggu.
Secara normal, Gais seharusnya tengah mempertaruhkan konsentrasinya menuju ujian tulis SBMPTN. Seperti yang dilakukan oleh Mia, temannya yang kini tengah dia tunggu selesai mengikuti bimbel. Bukti bahwa kehidupan sosial Gais masih terbilang normal. Meski begitu, jika disandingkan dengan Mia maka segala hal yang dilakukan oleh Gais terproyeksi menjadi tidak normal. Dia dan Mia berkawan, namun sering tak sejalan. Tak sama, apalagi serupa.
Dalam helaan napas panjang yang kesekian kalinya, Gais melirik buku sosiologi yang ia bawa di pangkuannya. Buku itu sengaja dia bawa hanya untuk meredam kekhawatiran Mia tentang betapa terlalu santainya Gais menghadapi SBMPTN. Tapi sekedar buku sosiologi tidak akan mampu menjelaskan tali temali raksasa yang bukan hanya menautkan hubungan sosial, namun juga takdir. Termasuk kenapa dia harus diam disini menunggu Mia. Seingatnya sosiologi tidak pernah membicarakan keharusan ini.
Di dalam salah satu ruangan bimbel itu, sekelompok pelajar terlihat menyurut bubar. Tutor mereka bernama Arya, alumni Sekolah Bisnis dan Manajemen yang baru beberapa bulan yang lalu mengenakan toga kelulusan. Sudah hampir satu tahun Arya magang sebagai tutor fisika. Meski hidupnya selalu berkecukupan, namun dorongan untuk menangkap setiap kesempatan membuatnya memiliki banyak kesibukan sebagai pekerja paruh waktu, aktivis, dan pebisnis.
Di kursi kedua dekat pintu itulah Mia berada. Dengan kaca mata berbingkai bening, Mia selalu menjadi orang yang terakhir keluar ruangan. Bahkan ketika Arya sudah menutup pertemuan, tangannya masih lincah membuka-buka buku. Hanya jika ruangan itu sudah mulai kosong, Mia akan mulai merapikan buku-bukunya.
“Sudah memutuskan mau daftar kuliah kemana?” Arya menghampiri Mia saat dia sudah bergegas keluar ruangan.
Mia menghentikan aktivitasnya, memandang tutornya sambil tersenyum sopan. “Jatinangor, of course.” jawab Mia.
“Kedokteran?” tebak Arya.
Kedokteran? Mia mendengus dalam hati. Ada apa dengan ambisi orang-orang yang ingin menjadikannya seorang dokter?
Mia menggeleng.
“Dengan nilai-nilai kamu yang nyaris sempurna, kedokteran bukan hal yang sulit dicapai.”
Mia tersenyum tipis. “Aku belajar bukan untuk mengincar jurusan yang prestisius, tapi untuk memenuhi kebutuhan otakku sendiri. Aku agak anti Rumah Sakit, darah, obat-obatan, ruang operasi, dan semacamnya. Dari dulu aku cenderung menghindari dokter, kecuali kakakku.”
“Tapi kamu belajar untuk mempersiapkan kuliah, kan?” tanya Arya tanpa menuntut jawaban. “Banyak yang terjebak karena merasa bakatnya bukan dagang maka menghindari Fakultas Ekonomi, karena tidak bisa berenang dan tidak suka seafood jadi menolak masuk Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Seharusnya kita tidak terjebak dalam sekat kehidupan yang kita buat sendiri. Hidup itu bukan tentang bakat-bakatan, hidup itu membakati apa yang kita hadapi.”
“Tapi jika tidak suka dan tidak mampu dengan apa yang kita hadapi, masa depan seperti apa yang akan kita jalani?” Mia mulai mengimbangi pembicaraan, seakan mereka teman seumuran. Dia mulai memakai tasnya bersiap meninggalkan kelas.
“Masa depan bukan tentang jurusan apa yang kamu pilih atau universitas mana yang kamu tempati. Masa depan itu tentang bagaimana kamu memerankannya dimana pun kamu berada.”
“Dan, saya masih memiliki kesempatan untuk memilih berhadapan dengan apa yang saya sukai dan apa yang saya mampu. Atau nanti berakhir seperti Kakak yang kuliah manajemen tapi jadi tutor fisika.” Mia menyimpulkan. “Itu cara Kakak memerankan diri untuk menghadapi hal yang Kakak tidak suka?”