Kanekes dan Peliput Seba

Sarah Nurul Khotimah
Chapter #2

Belajar Bermimpi

Dulu Mia mengira bahwa Jatinangor adalah Bandung, ternyata bukan. Jatinangor adalah sebuah kecamatan di Sumedang yang berbatasan dengan Cileunyi dan Rancaekek yang termasuk ke dalam Kabupaten Bandung, juga berbatasan dengan Sukasari dan Tanjung Sari yang menjadi wilayah Kabupaten Sumedang. Jatinangor pernah diisukan akan menjadi perkotaan, juga diisukan akan menjadi bagian dari pemekaran Bandung Timur. Isu hanyalah isu. Jatinangor tetaplah Jatinangor. Kawasan pendidikan yang memiliki lima perguruan tinggi. Tempat bersuanya harapan, kesempatan, dan berbagai kemungkinan.

Di salah satu desa bernama Cikeruh itulah tempat tinggal Mia berada. Memasuki rumah, warna kontras oranye dan ungu menjadi pemandangan yang dominan di setiap sudut ruangan. Pilihan warna oranye dari Gais dan ungu dari Mia. Gais menyimpan kunci motor di atas kulkas yang terletak sejajar dengan dispenser. Sementara Mia merebahkan dirinya di atas karpet dengan bantal-bantal kecil yang dia tarik dari sudut ruangan. Ruang depan ini lebih sering bertransformasi sebagai markas Mia ketika belajar. Kamar Mia terletak di sebelah kiri dari pintu masuk.

Gais memasuki kamarnya yang terletak berhadapan dengan pintu masuk rumah. Satu ruangan yang terletak di sudut, tepat di antara kamar Mia dan Gais adalah ruang tengah tempat menyimpan televisi, sofa panjang, gitar milik kakaknya Mia, lemari yang berisi buku-buku, dan meja komputer di sudut ruangan. Disanalah markas Gais untuk membaca novel atau menonton film sampai tertidur.

Rumah itu adalah the dream zone. Begitu mereka menyebutnya karena banyaknya tempelan-tempelan yang berisi mimpi-mimpi mereka di setiap sudut ruangan. Mulai dari daftar kertas memo berisi aktivitas harian, jadwal belajar, jadwal liburan, capaian, tempat yang ingin dituju, dan apa saja yang ingin mereka lakukan esok hari, pekan ini, bulan depan, tahun depan, dan di masa depan.

Tempat lain selain dream zone yang Gais anggap rumah adalah ORBIT Buku. Sebuah perpustakaan sekaligus kafe yang sering dia datangi dan akhirnya membuat Gais mengasisteni beberapa pekerjaan disana, sala satunya menjadi penyiar radio lokal yang mengudara dari ORBIT.

Sore itu Gais dan pemilik ORBIT akan melakukan perjalanan ke Baduy. Ajaibnya, di tengah rantai belajar yang mengikatnya, Mia tertarik untuk ikut.

“Kita harus segera packing dan membereskan rumah. Baduy, Mi. Baduy. Yuhuuu.” Gais mengomando dengan antusias. Mia terpaksa menggerakan tubuhnya yang masih kelelahan.

Dua gadis remaja itu kini hilir mudik mengitari rumah untuk packing sekaligus memastikan keadaan rumah aman untuk ditinggalkan. Gais membereskan ruang tengah, mengambil beberapa novel yang ia pinjam dari ORBIT. Sementara Mia merapikan ruang tamu dari kertas-kertas soal yang bertebaran di setiap sudut, di atas kulkas, lantai, dan bahkan ganjalan pintu. Ruangan itu terlihat seperti tempat yang baru saja terkena badai kertas.

Gais menggeliat setelah menyelesaikan pekerjaannya, dia memegang perutnya yang berbunyi. Melengkapi rasa lapar dan keinginannya untuk makan.

“Kamu nggak akan masak?” Gais bersandar pada dinding ruang tamu.

Mia mengangkat kepala dari tumpukan kertas di tangannya. “Aku sengaja mengosongkan kulkas, jadi nggak ada bahan masakan. Beli online saja, ya.”

Gais mengangguk setuju. Dia menghampiri Mia untuk membantunya merapikan beberapa buku dan kertas soal. “Cumi, kamu itu terlalu kecanduan belajar. Itu membuatmu terlihat seribu kali lebih kepayahan dari wajah Dobby.”

“Siapa dia?”

“Peri rumah,” jawab Gais dengan ekspresi semua orang juga tahu dia.

Gais mengambil selembar kertas yang tergeletak paling dekat dengannya.

“Apa ini? Kimia. Konfigurasi elektron. Diambil dari model atom Bohr. Oh, aku sering dengar kamu menyebut nama dia …” Gais mulai membaca, “tentang kulit atom yang mengelilingi inti atom dengan tingkatan energinya. Dimana semakin dekat dengan inti, maka energinya semakin rendah.”

Gais menyerahkan kertas yang dibacanya kepada Mia untuk ikut bergabung dengan tumpukan kertas yang lain. Pelajaran kimianya hanya dia dapatkan selama setahun pada kelas sepuluh. Namun, meski jarang menghapal, Gais memahami beberapa ilmu IPA dari novel dan film sci-fi.

“Aku kira inti atom itu sumber energi terbesar,” celotehnya.

Gais memperbaiki duduknya, memperhatikan Mia yang tidak tertarik untuk berkomentar. Tiba-tiba Gais berseru. “Kamu pernah berlajar tentang kemungkinan di luar Bumi ada planet lain yang bisa ditinggali?”

Mia tersenyum ganjil, ekspresi yang sudah diterka oleh Gais. “Kalau di novel fantasi sih mungkin-mungkin saja.”

Gais menyeringai. Dia memang baru saja membaca novel fantasi mengenai Planet Lorien dalam novel I am Number Four. “Namanya juga fantasi, Mi. Matahari membeku juga bisa kejadian.”

“Makanya belajar IPA. Supaya paham mana yang fantasi dan mana yang ilmiah.” Mia sudah mengatakan hal ini berkali-kali sejak Gais memilih program IPS.

“Ah, gampang ... Kamu belajar saja yang rajin sampai bisa menemukan mesin waktu dengan teori black hole dan worm hole, lalu aku ambil program IPA di SMA dan setelah jadi ilmuwan aku bikin mesin waktu lagi. Terus aku kembali lagi ke masa lalu. Terus saja bolak-balik kayak gitu sampai kiamat.” Gais terbahak.

Lihat selengkapnya