Kanekes dan Peliput Seba

Sarah Nurul Khotimah
Chapter #3

Buletin Mahasiswa

Untuk Negeri tercinta …

Koor akhir lagu Totalitas Perjuangan bergema di laptop Klama. Dia tengah mengecek video kompilasi pergerakan selama tiga bulan terakhir. Orang-orang mengenalnya demonstrasi, mahasiswa sendiri menyebutnya aksi, tapi Klama memilih kata pergerakan.

Gambar dalam video terlihat menyoroti ikat kepala bertuliskan “Politik Sehat”. Bendera organisasi internal kampusnya. Lalu layar laptop memperlihatkan Skay yang tengah berorasi. Wajah itu selalu memaksa dirinya untuk mendengus kesal.

Namanya Muhammad Askari, as known as Skay, dia bukan berasal dari langit tapi dari Ciamis. Sejak kecil dia sudah bangga dengan panggilan Skay-nya. Beberapa memanggilnya Kay, termasuk Klama. Panggilan yang unik seperti juga nama Klama yang terbilang langka, Klama Mahardika, yang terlahir ketika upacara proklamasi kemerdekaan tahun 1993. Tepat saat sang presiden mengucapkan kata proklamasi panjang-panjang dan keras, pada saat itu pula sosok manusia baru berteriak meraung di tanah Karo. Nama Klama diambil dari penggalan kata pro-klama-si, sementara Mahardika berarti Merdeka. Jadilah namanya memiliki arti yang gagah: proklamasi kemerdekaan.

Ingatan Klama tertarik mundur pada saat dua tahun lalu. Saat dia masih menjalani semester dua kuliahnya dan bekerja paruh waktu di media cetak lokal. Klama berangkat meliput aksi menolak pengurangan subsidi BBM di Jakarta. Aksi itu memanas menjelang magrib, saat pagar gedung DPR berhasil dirobohkan oleh beberapa demonstran. Dalam suasana yang ricuh, Klama menjadi salah satu wartawan yang terluka dan diamankan. Seorang aktivis dari kampusnya berdialog dengan pihak kepolisian dan meyakinkan polisi bahwa Klama ada di bawah tanggung jawabnya. Orang tersebut memperkenalkan diri dengan nama Skay.

Sky … langit?” Tanya Klama selepasnya dari penahanan polisi.

Skay tidak menoleh maupun tersenyum untuk merespon. Suasana malam di Jakarta masih ramai. Mereka sedang beristirahat di pinggir jalan sambil menunggu bis yang membawa mahasiswa dari Jatinangor menjemput mereka berdua. Skay terus-terusan mengecek ponselnya, memastikan lokasi mereka kepada temannya melalui SMS. Kondisi Jakarta yang baru diramaikan dengan aksi tadi sore membuat jalanan semrawut.

“Gue nggak boleh ngajak lu ngobrol, ya?” Klama menatap Skay yang masih sibuk dengan ponselnya.

“Ngobrol apa?” tanya Skay tanpa merasa bersalah.

Klama mengeluarkan tempat minum dari tasnya dan meneguknya cepat-cepat karena kesal. “Corpus callosum laki-laki memang pendek. Makanya mereka jadi tuli saat sedang konsentrasi pada satu hal.”

Skay mencerna kalimat Klama dengan ponsel yang menggantung di tangannya. “Itu yang mau lu obrolin? Corpus apa?”

Klama menggeleng cepat, antara menyangkal respon Skay sekaligus mengakhiri obrolan yang tidak nyambung.

“Lu mahasiswa biologi?” Tanya Skay menutupi kecanggungan dari kesalahan yang tidak disadarinya. “Gue kira lu mahasiswa jurnal.”

“Gue memang anak jurnal. Nggak kelihatan, ya?”

Skay tertawa. “Jelas sekali kelihatan lah.”

Klama tidak ikut tertawa.

Tawa Skay terhenti melihat Klama masih berekspresi datar. “Dari jaket lu. Itu jaket himpunan jurnalistik dari kampus kita, kan.”

Ekor mata Klama melirik jaket himpunannya.

“Ada dua jaket himpunan yang melegenda di kampus. Jurnalistik sama Geologi. Mungkin karena perjuangan yang mereka lalui untuk mendapatkan jaket itu dan karena bangganya mereka memakai jaket itu. Dari radius seratus meter pun orang-orang akan mengenali jaket lu.”

Klama menunduk lagi, memandangi jaket himpunannya. “Buku catatan gue hampir dibakar senior saat memperjuangkan jaket ini.”

“Makrab yang memorable, kan?” Skay menyebutkan kegiatan puncak orientasi kampus di jurusan Jurnal.

Lihat selengkapnya