Arya baru saja menyelesaikan packing dan merapikan dua dus berisi komik yang akan dia bawa ke Jatinangor. Dia sudah menyusun rencana-rencana baru dalam hidupnya. Mercusuar yang akan membawanya ke pelabuhan pencapaiannya. Rencana terdekat adalah menjalankan proyek liputan Seba Baduy. Ketika memanaskan motor, pikirannya berpusat pada panggilan wawancara dari perusahaan yang sudah dia incar. Arya cukup percaya diri bahwa wawancaranya akan berjalan dengan lancar. Sepulangnya dari Kanekes, dia akan memulai perjalanan sebagai seorang karyawan sebuah perusahaan multinasional di Jakarta.
Saat memasukkan ponsel ke dalam saku jaketnya, dia menemukan selembar kertas yang sepertinya sudah berhari-hari tersimpan disana. Arya membukanya. Kartu peserta dari sebuah gerakan kemanusiaan yang mencari sarjana untuk mengajar di pelosok, perbatasan negeri, dan daerah tertinggal. Arya memandanginya lama. Dia selalu memenangi kompetisi, menerima beasiswa, dan mempresentasikan bisnisnya dengan baik. Tapi untuk pertama kalinya dia ditolak dan itu terjadi saat dia mendaftarkan diri pada gerakan kemanusiaan ini. Arya masih bertanya-tanya apa yang membuatnya tidak layak bergabung dengan mereka.
Dalam perencanaan targetnya yang lain, Arya berhasrat melanjutkan kuliah dan berkarir di luar negeri. Membentangkan interaksi sosial lebih luas lagi. Namun jalan terang yang terbuka baginya kini adalah berkarir di Jakarta, dan Arya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Lagipula di kota tempatnya berpijak kini, dia memiliki satu usaha yang bisa dia banggakan. ORBIT Buku.
ORBIT Buku dia dirikan dari sisa hibah Dikti. Hibah yang dia dapatkan dari Karya Tulis Ilmiah mengenai kebijakan Pemerintah menghadapi pasar bebas ASEAN. Pada awalnya dia mendirikan ORBIT di Bandung, lalu membuka cabang di Jatinangor setelah bertemu berkali-kali dengan Rama. Pertama kali mereka bertemu ketika Arya masih kuliah tingkat satu. Saat Rama masih menjadi seorang penyiar radio komersil di Cianjur dan Arya adalah panitia kegiatan kampus dengan target anak SMA.
Akhir tahun 2010, Arya mendatangi studio tempat Rama siaran untuk publikasi event yang akan diadakan oleh kampusnya. Dengan kharismanya, Arya bercerita mengenai dunia kampus yang penuh kejutan dan memberikan motivasi kepada para pendengar mengenai pendidikan dengan janji masa depan yang cerah. Rama, yang putus sekolah sejak kelas satu SMA, ikut terbuai dengan janji-janji masa depan itu dan menganggap Arya juru selamat hidupnya yang selama ini dia tunggu.
Selepas siaran, mereka mengobrol panjang lebar mengenai Bandung dan perubahan besar yang selalu dialami oleh orang-orang di dalamnya. Dalam penilaian Arya, Rama adalah manusia titik nol, tanpa ijasah SMA, tanpa uang saku dari orang tua, tanpa tempat tinggal, selalu tidur di studio siaran, dan berkelana sendiri. Tidak terikat dengan siapapun. Sementara dalam penilaian Rama, Arya adalah manusia yang hendak menyentuh langit karena pembicaraannya yang tidak bisa dia jangkau. Mengenai Konferensi Asia Afrika yang dibanggakan Bandung, ekonomi kreatif yang semakin berkembang, persiapan menuju AEC, pasar bebas dunia, dan semacamnya. Rama terseok-seok mengikuti cerita Arya. Namun orang yang memiliki mimpi selangit dan orang yang memiliki mimpi yang rapuh tetap bisa bertemu dalam titik yang sama. Kegelisahan akan hari esok.
Beberapa bulan setelah pertemuan itu, Rama berhenti menjadi penyiar. Dia pindah ke Bandung dan mulai dari nol lagi. Berbekal dengan keyakinan bahwa Bandung bisa membuatnya berkembang menjadi seseorang yang berbeda, namun tidak akan mencekiknya sekejam ibu kota. Selama merantau di Bandung, Rama tidak pernah berani menghubungi Arya. Tidak ada alasan bagi sesama pria untuk saling menghubungi hanya untuk basa-basi menanyakan kabar.
Baru dua tahun setelahnya, Rama bertemu dengan si penabur mimpi. Arya baru saja keluar dari Geulis Travel dan mampir di warung empek-empek Dipati Ukur. Saat berteriak ke penjaga warung untuk meminta teh manis, suara Arya yang khas membuat Rama yang duduk tak jauh dari tempatnya menoleh.
“Arya Bhakti!” Suara Rama setengah berteriak sehingga membuat beberapa kepala memperhatikan mereka.
Mendengar nama lengkapnya disebut, Arya mencari sumber suara dan menemukan wajah yang dia kenal, namun sulit mengingat dimana ia pernah bertemu dan siapa namanya.
“Eh, apa kabar?” Tanya Arya berusaha menyembunyikan kegugupannya karena tak bisa mengingat nama orang di depannya.
“Gue baik, Bos.” Jawab Rama masih sambil tertawa karena kebetulan yang dia harapkan akhirnya terjadi juga. “Gue boleh duduk disitu?” Tanya Rama menunjuk kursi di samping Arya.
“Oh, iya. Sini lah.” Ajak Arya sambil terus berpikir apakah mereka satu fakultas atau satu organisasi. Dan kenapa orang ini seakan menghormatinya?
“Gila. Akhirnya kita ketemu di Bandung. Kota yang gue impi-impikan sejak gue ketemu lu. Gue tahu, sih, kampus lu deket sini. Cuma gue ga kebayang aja bakal ketemu lu di tempat serandom ini.”
Dia bukan orang Bandung. Batin Arya.