Rumah Makan Surga Dunia benar-benar ada. Arya berhasil menemukannya sepulang seminar. Saat itulah Rama bercerita pada Arya kisah awal saat dia menginjakkan kaki di Bandung dua tahun yang lalu. Rama menumpang di rumah kenalannya yang bekerja di salah satu kafe di Braga. Rama berusaha mencari pekerjaan. Berjalan kaki dari Kebon Jati, melalui Gasibu, berputar ke Cicadas, hingga kembali lagi ke Kebon Jati. Itulah masa dimana Rama merasakan bagaimana rasanya menjadi gelandangan. Batinnya bersorak ketika menemukan uang logam lima ratus perak di jalanan dan akhirnya bisa membeli air mineral. Terkadang dia memungut botol kosong agar bisa meminta air sekedarnya pada sebuah rumah makan. Lembaran uang dua ribu atau lima ribu adalah jumlah yang mewah kala itu. Rama sendiri bingung harus kemana karena dia sama sekali tidak memiliki ijasah. Akhirnya titik nol tersebut mengalami kemajuan ketika ada sebuah stasiun televisi lokal yang menjawab permintaan kerjanya.
Hari pertama bekerja dia diminta memakai kemeja putih, celana yang rapi, dan sepatu pentofel. Tidak ada. Rama hanya memiliki beberapa kaos bersablon iklan atau event, celana jins belel, dan sandal. Akhirnya dia meminjam gitar kenalannya untuk mengamen dan bisa membeli barang-barang tersebut dengan harga yang amat murah. Setelah semua bisa dimulai, ternyata rezekinya tidak bermuara disana. Baru delapan hari bekerja dia sudah dipecat dengan alasan tidak memenuhi kualifikasi. Tanpa gaji, tanpa pesangon, dia dikeluarkan dari pekerjaan. Menyisakan kemeja putih, celana rapi, sepatu pentofel, juga pengalaman menjadi pengamen.
Rama kembali lagi dari nol untuk menjadi penjual gorengan di depan sebuah Universitas di Kota Bandung. Baru beberapa minggu berjualan disana dia berhenti karena keuntungannya tidak menutupi kebutuhannya.
Tidak nyaman tinggal menumpang lama-lama, dia beralih menumpang pada kenalannya yang lain di Dipati Ukur. Di DU, Rama mulai lagi dari nol untuk berjualan online dari handphone-nya. Bisnis tersebut cukup menjanjikan dan menghasilkan, namun ibarat manusia sengsara yang baru saja mendapatkan banyak uang, ada beberapa barang yang tidak bisa dikirimkan karena uang yang sudah ditransfer sudah terlanjur dia pakai untuk kebutuhannya. Bisnis itu berjalan di putaran gali lubang dan tutup lubang. Hingga akhirnya dia bertemu dengan Arya di warung empek-empek dan mulai berpikir membuka usaha foto.
“Ketika gue ceritakan, rasanya gue udah melakukan banyak hal. Tapi setiap gue ketemu lo, gue masih gini-gini aja. Selalu di titik nol.”
“Setidaknya ada yang lo kerjakan, boy.”
“Tetap nggak cukup buat gue bisa kembali ke Cianjur dan punya hal yang dibanggakan. Lu tahun depan udah bisa ganti status jadi sarjana. Gue tetap gembel. Lu udah siap bertengger di bintang, gue masih menggelepar di Bumi.”
Arya tersenyum kaku. Akhirnya dia ingat dimana pertama kali mereka bertemu. Saat sosialisasi kampus di radio Cianjur. Saat dia mengumpulkan semua kisah motivasi mengejar mimpi untuk dia jadikan materi sosialisasi, termasuk di radio itu.
“Mimpi ga membawa gue kemana-mana, boy. Dulu gue berhenti jadi penyiar, mulai dari titik nol, pindah ke Bandung mencari pekerjaan, mulai dari titik nol, menjadi tukang goreng, mulai dari titik nol, berjualan online, mulai dari titik nol, membuka usaha fotografi, mulai dari titik nol, pindah ke Jatinangor, mulai lagi dari titik nol, dan setelah disadari ternyata gue hanya berputar-putar di titik yang sama.”
“Kalau begitu kenapa lu tinggalin kehidupan lu di Cianjur?”
“Karena gue ga merasa seperti yang lu bilang. Bangun tidur dengan gairah untuk melakukan sesuatu. Gue ga menemukan gairah itu saat di Cianjur.”