“Hah? Kamu menggertak Klama dengan pencabutan media dia?”
Skay terperangah. Kaget sekaligus jengkel.
“Saya juga nggak serius waktu bilang itu, Kay. Tapi kenyataannya memang medianya belum jadi Unit Kegiatan Mahasiswa. Karena dulu inisiatifnya dari BEM, berarti statusnya masih kita yang pantau. Saya cuma nggak ngerti kenapa dia selalu di posisi menyerang saya.”
“Tapi nggak mesti bilang gitu juga. Nambah penyakit itu namanya.”
“Iya, saya salah. Saya emosi tadi. Makanya saya bilang sama kamu karena saya percaya kamu bisa bantu memperbaiki ini.”
Skay melipat tangannya, menghembuskan napas berat. “Susah, sih, kalau mau adu menang sama anak itu. Tapi dia terbuka untuk diajak diskusi.”
Sambil pamit Skay mengusap ubun-ubunnya yang mulai terasa berdenyut sakit. Wajah pucat dan stres bercampur jadi satu, meski di sela raut wajah itu selalu ada tawa yang diciptakan tapi pahitnya masih kelihatan. Sebelum menemani Ikmal untuk konsolidasi, dia baru saja selesai menemui dosen untuk bimbingan skripsi, lalu tiba-tiba dia ditelepon seorang intel yang sudah dia kenal dan ditanya tentang demonstasi kelompoknya Trian yang berakhir rusuh. Hal yang lebih penting dari semua itu adalah kondisi kesehatan ibunya yang menurun sementara dia tidak punya banyak waktu luang untuk pulang. Satu persatu, dia harus menyelesaikan semuanya.
Skay membelokkan motornya menuju ORBIT Buku. Tidak ada tempat yang sering didatangi Klama selain tempat bisnisnya sendiri.
Skay memasuki ORBIT yang terlihat sepi, mengucapkan salam, dan menyalami Rama yang tengah merapikan buku-buku baru dengan lantunan lagu In The End-nya Linkin Park dari komputer utama.
“Cari Klama, ya?” Rama menebak. “Sebentar lagi mungkin dia datang.”
Salah satu kursi di sudut ruangan ditarik Skay. Gais dan Mia yang duduk di beranda meliriknya. “Tumben sepi.”
“Lah, lu nggak lihat pengumuman di pintu depan? Kita tutup sementara tiga hari ini.”
“Ooh, mau ada pemugaran?”
Rama menggeleng. “Lagi ada proyek liputan Seba Baduy. Si Intan sakit, si Kahfi belum biasa pegang perpustakaan. Jadi kita tutup dulu.”
“Klama ikut?”
“Ikut lah. Lu kira ada diantara kita yang lebih pintar bikin liputan dibanding dia? Ada perusahaan baru yang mau bikin Seba Baduy sebagai tema buletin bulanannya gitu. Mereka menghubungi agen fotografi gue. Arya juga ikut karena dia pimpro-nya. Klama bawa satu orang temannya yang pernah kesana. Tambah dua cewe disana yang ikut sukarela. Seenggaknya Klama jadi nggak cewe sendirian.”